Pekerja (bukan Pembantu) RT

 

Oleh: Eva K Sundari

SeputarKita – Saat ini lagi ramai didebatkan di sosmed terkait satu unggahan foto yang memperlihatkan seorang PRT menunggui pemberi kerja yang sedang asyik makan (https://says.com/my/news/singapore-family-eating-restaurant-maid-sits-without-meal). Meja di depan PRT tersebut kosong, tanpa makanan.

Reaksi nitizen beragam, sebagian membela majikan dan sebagian mengecam majikan tersebut. Salah satu nitizen  bersaksi bahwa ia kerap menyaksikan pemandangan seperti iti di Hongkong  dan Malaysia. Kita boleh menduga bahwa  PRT tersebut adalah orang kita.

Menariknya, beberapa nitizen yang merespon adalah para PRT sendiri. Mereka menyatakan bahwa perlakuan demikian sering sekali diterima para PRT.

Di Indonesia sendiri, unggahan semacam itu juga pernah kita saksikan. Tidak kurang pengacara kondang Hotman Paris pernah menjadikannya sebagai  content di sosmednya. Ia demikian geram, sambil  membelikan makanan untuk PRT tersebut, ia menegur langsung bos PRT tersebut.

Bukan hanya Hotman, banyak orang yang terusik dan geram melihat praktek “kekerasan” tersebut PRT dan  mengecamnya. Ketika majikan ditegur atas perlakuan yang sewenang-wenang tersebut, baik yang di luar negeri maupun di dalam negeri, baik secara implisit maupun eksplisit adalah sama. “Dia hanya pembantu.” (she is just a maid/helper).

“Hanya” itu muncul dari adanya relasi kuasa yang asimetris dimana satu pihak merasa superior atas pihak satunya. Kemudian, relasi timpang tersebut sempurna karena diinternalisasi oleh PRT dengan memberikan atribut pada dirinya ” hanya sebagai pembantu.”

Dampaknya meluas termasuk saat para anak PRT kemudian menyembunyikan profesi ibunya dan menjadi minder (inferior) di pergaulan sekolah maupun di lingkungan rumah. Wajar karena masyarakat luar baik anak-anak maupun yang dewasa  memperlakukan PRT dan keluarganya dengan sikap melecehkan pula.

Para “Pembantu” (Pekerja) RT mendapat kekerasan pengabaian atau “Neglect Violence” yaitu sikap yang muncul ketika seseorang mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan keperluan dan “jasa” bagi seseorang lain tetapi tidak melakukannya tidak saja di restoran tetapi juga di rumah.

Makan, minum, tempat kerja dan istirahat yang layak sebenarnya merupakan kewajiban majikan. Tetapi, kenyamanan, keamanan dan rasa berharga, adalah juga kewajiban dari majikan karena diperlakukan setara, sesuai martabat kemanusiaan adalah hak setiap manusia. Artinya, martabat kemanusiaan PRT tidak boleh dihancurkan atau dihilangkan oleh para majikan sekalipun.

Politik penyediaan makanan ini menjadi alat pelecehan bahkan penyiksaan bagi para PRT di dalam rumah. Ada PRT Khotimah yang bosnya kaya raya atau PRT Elok yang bosnya pengacara keduanya menjadi kurus kering karena tidak diberi makan saat mereka tetap dituntut terus bekerja. Ini mengulang nasib PRT Narsih tahun 2001 yang meregang nyawa karena dihajar bosnya, Ny Ita, akibat mengambil beberapa butir rambutan untuk mengganjal perutnya yang kelaparan.

Awal 90an, jaringan PRT di DIY sudah  mengkampanyekan istilah PEKERJA RUMAH TANGGA. Kemudian International Labor Organization (ILO) mengeluarkan Konvensi no 189 tahun 201, Jala PRT makin gencar mengkampanyekan penyebutan “Pekerja” RT sebagaimana diamanatkan Konvensi tersebut. Perubahan-perubahan positif mulai terjadi.

Anak-anak PRT mulai bangga dengan profesi ibu-ibu mereka. Para PRT sendiri mulai hilang mindernya dan mulai mendapatkan kepercayan mereka. Para pemberi kerja juga mulai banyak menghormati para PRT. Mereka setuju memberikan hak-hak normatif PRT mereka.

Beberapa anggota KOWANI dan Komunitas Pemberi Kerja bersaksi bahwa pembuatan perjanjian kerja dengan PRT mereka telah berdampak positif bagi kedua belah pihak. Keduanya sama-sama tenang dan semakin produktif bekerja di masing-masing tempat kerjanya. PRT di dalam rumah (domestik) dan bos di luar rumah (publik).

Kondisi harmonis yang bersambung tersebut secara akumulatif akan berdampak pada perekonomian negara karena daya beli masyarakat menguat. Meningkatnya partisipasi perempuan di sektor publik diperkirakan akan dapat mendongkrak GDP sebesar 180 juta US dollar kata Poppy Ismanalita PhD mengutip angka dari riset Mc Kenzie.

Demikianlah kelak sumbangan tidak langsung dari para PRT bagi negara dengan mengambil alih tugas domestik para ibu rumah tangga. Sehingga pengesahan UU PPRT sesungguhnya tidak ada alasan untuk ditunda karena menguntungkan semua pihak.

Cawang, 27/1/23

Check Also

Pendulum Politik Magetan Berubah

  Oleh : Muries Subiyantoro Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI (Local …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!