Problematika Kampanye di Sekolah

Oleh : Muries Subiyantoro

Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI (Local Government and Political Research Institute) Magetan

 

Diperbolehkannya lembaga pendidikan (sekolah) menjadi lokasi kampanye seperti yang telah disyaratkan Mahkamah Konstitusi (MK) menarik untuk dikaji. Seperti diketahui lembaga pendidikan adalah lembaga atau tempat berlangsungnya proses pendidikan dengan tujuan mengubah tingkah laku individu ke arah yang lebih baik melalui interaksi dengan lingkungan sekitar. Menurut Horton dan Hunt, fungsi lembaga pendidikan ada dua, yaitu fungsi manifest dan fungsi laten. Dalam fungsi manifest lembaga pendidikan terdapat salah satu fungsi yaitu menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.

Penanaman keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi caranya adalah dengan mengajarkan partisipasi dalam organisasi sekolah dan kegiatan lainnya. Sistem demokrasi bisa dimulai dari sekolah dengan cara sederhana. Misalnya pemilihan ketua kelas, berpartisipasi dalam OSIS, dan banyak kegiatan lainnya. Pertanyaannya, apakah dengan diperbolehkannya kampanye di sekolah bisa dikategorikan sebagai bentuk menanamkan keterampilan bagi partisipasi dalam demokrasi?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, maka mari kita pahami apa makna kampanye. Merujuk pada UU 7/2017 tentang Pemilu, pengertian kampanye adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Dari pengertian kampanye ini, maka segmen pemilih yang ada disekolah adalah kategori Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK/MA) atau sederajat.

Karakteristik perkembangan intelektual remaja digambarkan oleh Keating (Syamsu Yusuf, 2004 : 195 – 196) sebagai berikut:

  1. Kemampuan intelektual remaja telah sampai pada fase operasi formal sebagaimana konsep Piaget. Berlainan dengan cara berpikir anak-anak yang tekanannya kepada kesadaran sendiri di sini dan sekarang (here and now), cara berpikir remaja berkaiatan erat dengan dunia kemungkinan (world of possibilities).
  2. Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan nalar secara ilmiah.
  3. Mampu memikirkan masa depan dan membuat perencanaan dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya.
  4. Mampu menyadari aktivitas kognitifnya dan mekanisme yang membuat proses kognitif tersebut efisien atau tidak efisien.
  5. Cakrawala berpikirnya semakin luas.

Dengan karakteristik perkembangan intelektual remaja di atas, maka remaja sudah mampu memiliki penalaran yang kritis dan rasa keingintahuannya yang besar. Dalam konteks ini, maka ketika kegiatan kampanye dilakukan di sekolah memiliki problematika tersendiri.

 

Pro-Kontra

Pascaputusan MK, Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 selengkapnya menjadi “pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggungjawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”. Sementara itu, penjelasan pasalnya berbunyi ‘yang dimaksud dengan ‘tempat pendidikan’ adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi’.

Memaknai pascaputusan MK ini, akan menimbulkan pro-kontra di lapangan ketika akan dilaksanakan. Penanggungjawab di sekolah adalah Kepala Sekolah, maka apakah Kepala Sekolah berani memberikan izin gedung dan/atau halaman sekolahnya dipergunakan kegiatan kampanye? Jika Kepala Sekolah memberikan izin, tetapi Dinas Pendidikan yang bersangkutan melarang, lantas bagaimana? Belum lagi jika Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) melarangnya. Apabila kampanye di sekolah bisa dilakukan, lantas kapan jadwal kampanye itu bisa diselenggarakan, apakah kampanye dilakukan di sela-sela proses pembelajaran di sekolah atau ketika jam pembelajaran di sekolah sudah usai dilakasanakan?. Pertanyaan lain muncul, siapakah yang berhak mengikuti kegiatan kampanye di sekolah? Apakah semua peserta didik yang sudah masuk kategori sebagai pemilih, atau ditunjuk perwakilan kelas, perwakilan OSIS atau siapa?

Menarik dikaji lebih mendalam bahwa orang tua/wali murid peserta didik pun dari sisi politik juga beragam latar belakang. Ada yang menjadi anggota dewan, anggota parpol dan bahkan bagian dari tim kampanye peserta pemilu itu sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana jika kampanye di sekolah dilaksanakan, apakah akan memunculkan fragmentasi politik di sekolah itu sendiri? Selain itu, bagaimana dengan materi kampanye yang akan disampaikan oleh peserta pemilu. Materi yang disampaikan apakah ada korelasi dengan kebutuhan dan kepentingan peserta didik atau tidak.

 

Pendidikan Politik

Pelaksanaan kampanye di sekolah secara teknis akan mengalami banyak tantangan dan persoalan. Dan semangat untuk menjaga marwah lembaga pendidikan (sekolah) sebagai lembaga yang berintegritas dalam mencetak kader-kader bangsa harus tetap dijaga. Menurut hemat penulis, secara substansial yang harus diperkuat saat ini adalah pentingnya untuk terus melakukan pendidikan politik, tak terkecuali di sekolah. Karena pendidikan politik adalah usaha atau upaya berupa bimbingan atau pembinaan secara disengaja dan sistematis dalam meningkatkan pengetahuan politik sehingga mencintai dan memiliki keterikatan yang tinggi terhadap bangsa dan negara serta menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik agar mampu berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam mencapai tujuan politik.

Sehingga ketika pendidikan politik sudah massif dijalankan di sekolah melalui pemberian materi pembelajaran di kelas maupun materi di luar kelas, maka peserta didik akan lebih mampu memiliki pemahaman tentang politik secara lebih komprehensif. Dengan demikian ketika kampanye di sekolah dijalankan, sekolah khususnya peserta didik akan lebih siap menerima Tetapi, ketika pendidikan politik saat ini masih jauh panggang dari api, maka dikhawatirkan kampanye di sekolah akan banyak menimbulkan mudhorotnya daripada manfaatnya. Penguatan pendidikan politik di sekolah harus terus dilaksanakan. Pendidikan politik bisa diberikan melalui mata pelajaran yang diajarkan di kelas, misal melalui mapel Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selain itu bisa melalui kegiatan organisasi di sekolah, OSIS, Pramuka dan sebagainya.

Kampanye di lembaga pendidikan, khususnya di sekolah harus benar-benar dikaji dengan matang, agar tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang secara teknis mengatur semua tahapan pemilu, harus berhati-hati dalam membuat peraturan kampanye di sekolah, harus dibedakan kampanye di kampus dan di sekolah, karena segmen dan ruang lingkup kampus dan sekolah berbeda. Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu diharapkan juga melakukan pengawasan secara menyeluruh agar kampanye di sekolah tidak disalahartikan dan disalahgunakan.

Peserta didik sejak usia sekolah memang harus diberikan pendidikan politik, agar tidak gagap politik, tidak menganggap politik itu kotor. Semangat untuk memberikan kampanye di sekolah adalah suatu terobosan yang menarik, tetapi tidak untuk saat ini. Justru saat ini yang sangat dibutuhkan adalah penguatan pendidikan politik di sekolah dari tahun ke tahun, sehingga pada perhelatan pemilu 5 (lima) tahun yang akan datang akan lebih siap menerima kegiatan kampanye di sekolah karena sudah dibekali dengan pendidikan politik yang lebih berintegritas dan berkualitas. Dengan harapan kualitas pemilu di masa yang akan datang semakin berkualitas tidak hanya dari sisi prosedural tetapi juga dari sisi substansial. Semoga!

Check Also

Catatan LoGoPoRI Magetan Terhadap Sirekap

Oleh : Muries Subiyantoro Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI (Local Government …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *