PEMBERONTAKAN PKI 1948: CUKUP DIKENANG, JANGAN SAMPAI TERULANG

Oleh : KH. Muhammad Imaamul Muslimin, SPd, MM (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)

 

Pada malam yang berselimut sunyi, tanggal 18 September 1948, kota Madiun, Jawa Timur berubah menjadi saksi bisu dari sebuah pemberontakan yang mengguncang sendi sendi republik yang baru lahir. Di bawah bayang-bayang Musso, seorang komunis yang datang kembali dari eksil, Front Demokrasi Rakyat (FDR) memproklamirkan “Republik Soviet Indonesia,” sebuah mimpi yang ditanam ketika republik belum sepenuhnya kukuh. Namun mimpi itu segera berubah menjadi mimpi buruk bagi ribuan nyawa yang tidak bersalah.

Musso—atau Musa Munawwar—sejak awal memperlihatkan intensi perlawanan terhadap pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Ideologi komunisnya tidak menerima suara ulama, pesantren, ataupun suara yang mendewakan Tuhan sekalipun, jika suara itu dianggap “menghalangi revolusi.” Dalam kekuasaan FDR, pada kurun waktu 18 sampai 30 September 1948, Madiun jatuh ke tangan pemberontak PKI. Selama 13 hari itu, terjadi pembantaian besar-besar. Berdasarkan data dari Kodim Madiun tercatat sekitar 1.920 korban pada wilayah Madiun. Di desa Kresek (Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun) terdapat 17 tokoh masyarakat yang menjadi korban pembantaian. Nama-nama seperti Kolonel Inf Marhadi; Letkol Wiyono; Insp Pol Suparbak; May Istiklah; R.M. Sardjono (Patih Madiun); Kiai Husen; Mohamad (pegawai Dinas Kesehatan); Abdul Rohman; Sosro Diprodjo; Suharto (guru sekolah pertama Madiun); Sapirin; Supardi; dan wartawan freelance menjadi bagian dari daftar korban yang namanya diukir di Monumen Kresek.

Tetapi jangan biarkan data angka itu membuat kita lupa wajah mereka, membuat kita lupa jeritan, membuat kita lupa iman mereka yang tetap bersuara di balik senapan dan bayonet. Darah ulama, santri, rakyat kecil, guru, tokoh masyarakat — semuanya tumpah, bukan karena kejahatan mereka, tetapi karena keberanian untuk tetap setia pada keyakinan sendiri.

Madiun dirasuki oleh bayangan kekuasaan PKI yang memperluas sayapnya ke Magetan, wilayah yang memang berdampingan secara geografis, sosial, budaya dengan Madiun. Di Magetan dan sekitarnya, tragedi ini menjadi lebih dari sekadar “perluasan pemberontakan,” melainkan kekejian yang merusak tatanan moral masyarakat, menyerang pesantren dan ulama, yang selama ini dianggap sebagai benteng iman.

Di Magetan, satu cerita yang paling menyayat adalah cerita di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran. Pesantren ini diasuh oleh Kiai Imam Mursyid Muttaqien, seorang ulama yang usianya sekitar 28 tahun saat itu, dikenal lembut hatinya, kuat ilmunya, dan teguh akidahnya. Pada Jumat pagi, 17 September 1948, pesantren usai Salat Jumat menjadi titik mula tragedi: sekelompok orang bersenjata dari PKI mendatangi pesantren, menjemput beberapa kyai dan santri dengan kekerasan. Kepala gerombolan disebut Suhud, aktivis PKI, menurut beberapa sumber lokal. Dalam penculikan itu, nama Kiai Imam Mursyid bersama beberapa kyai, guru, santri dibawa, dan kemudian nasibnya misterius atau tragis: jasad Kiai Imam Mursyid belum pernah ditemukan sampai saat sumber-terkini. Beberapa saksi menyebut bahwa sebelum dijemput, Kiai Imam Mursyid sempat membaca sebuah ayat Al-Qur’an: Inna Allâha lâa yughaïyirru biqawmin hattâ yughaïyirû mâ bi anfusihim (“Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”). Santri dan kyai menyaksikan rumah pesantren dikepung, pintu dipaksa dibuka, dan suara langkah kaki bersenjata yang mendekat ke serambi masjid, memanggil nama kiai dan santri yang dituduh “musuh revolusi”. Beberapa santri tak tahu apa salahnya, mereka hanya belajar mengaji ketika malam melabuhkan gelap.

Setelah dijemput, sebagian korban dari PSM Takeran dibawa ke loji loji pabrik gula Rejosari Gorang Gareng di Magetan. Loji, yang selama ini dikenal sebagai tempat pengolahan tebu, malam itu menjadi satu unit kekejian: ruang penyiksaan, ruang kengerian, bahkan ruang eksekusi. Santri dan kyai diperlakukan dengan kekerasan luar biasa. Beberapa ditembak langsung, beberapa disiksa terlebih dahulu. Setelah itu sebagian mayat dibawa dalam “gerbong kematian”(kereta lori atau kendaraan barang), atau diarak menuju sumur tua—sumur maut—di wilayah Soco, Kecamatan Bendo, Magetan. Sumur tua yang dalam dan sempit itu menjadi kuburan tanpa nama, tempat mayat-mayat kaum yang dituduh kontra revolusi dicampakkan, lebih banyak dalam keheningan dan lupa, korbankorban yang tak pernah diketahui hingga kapan jasadnya bisa diidentifikasi. Di sumur-s-sumur Soco ditemukan ratusan kerangka, sebagian bisa dikenali, sebagian tidak.

Dalam wilayah Parang, di Sayutan Parang di Magetan, eksekusi massal dilakukan terhadap pemuka masyarakat: camat, lurah, juru tulis, guru, orang yang dianggap oposisi oleh PKI. Mereka ditembak, tubuh mereka dibiarkan tergeletak atau dikubur secara massal tanpa upacara yang layak. Di alun-alun Magetan, menurut ingatan rakyat dan narasi lokal, beberapa eksekusi dilakukan di tempat terbuka sebagai bentuk teror psikologis — agar takut. Mereka yang berjalan di pasar atau pulang ke rumah bisa didatangi, ditarik, lalu ditembak di depan umum. Ini bukan hanya tentang perlawanan politik; ini adalah perang terhadap iman dan keyakinan.

Salah satu figur yang disebut dalam narasi lokal adalah “Jenderal Sipong,” yang dikatakan sebagai komandan lokal PKI di Magetan. Ada banyak kisah lisan tentang Sipong: bagaimana ia menyuruh penculikan, penganiayaan, pembunuhan terhadap siapa saja yang dianggap menghalangi dominasi ideologi komunis. Namun, dalam arsip historis formal, bukti dokumenternya masih terbatas. Sipong lebih menjadi simbol penderitaan rakyat Magetan — sebuah nama yang melekat dengan kebrutalan, meski detailnya berbeda menurut siapa yang menceritakan.

Sementara itu, di Madiun sendiri, di Kresek dan sekitarnya, korban bukan hanya santri dan ulama, tetapi aparat negeri, guru sekolah, kepala desa, orang tua yang tidak pernah meminta agar dunia ini berubah dengan cara kekerasan. Di Kresek, 17 tokoh penting gugur, termasuk Kiai Husen, R.M. Sardjono, Kolonel Inf Marhadi dan Letkol Wiyono—orang yang dikenang bukan sebagai pejuang komunis, tetapi sebagai manusia yang terjebak dalam pusaran kegilaan zaman itu. Kekejaman dalam bentuk penyiksaan, pengikatan, penguberan, dan pembantaian terjadi dalam hari-hari ketika PKI memegang kendali atas distrik tersebut.

Pemerintah republik, di bawah arahan Presiden Soekarno, tidak tinggal diam. Tanggal 19 September 1948, Soekarno menyampaikan pidato yang menggugah ke seluruh penjuru tanah air: bahwa tidak ada tempat bagi pemberontakan dalam kerangka negara yang sah, bahwa siapa pun yang mencoba merusak persatuan akan dilawan. TNI, terutama Divisi Siliwangi yang dipindahkan menuju area timur, ditugaskan untuk merebut kembali wilayah yang dikuasai pemberontakan. Pasukan rakyat, laskar santri dan ulama dengan dukungan masyarakat ikut bergerak. Tidak lama kemudian, Madiun dikembalikan ke tangan pemerintah pusat sekitar 30 September 1948.

Musso, dalam pelarian bersama Amir Sjarifuddin dan beberapa pimpinan PKI lainnya, akhirnya tertangkap dalam pengejaran ke Ponorogo. Musso tewas pada 31 Oktober 1948 dalam baku tembak dengan pasukan TNI di sebuah desa bernama Balong, Ponorogo. Jasadnya kemudian dibawa ke RS Ponorogo sebelum beberapa sumber kemudian menyebut bahwa jasad sempat ditampilkan ke publik. Amir Sjarifuddin sendiri ditangkap dan dieksekusi kemudian (perlu diperjelas dalam catatan sejarah bahwa tanggal 19 Desember 1948 sering disebut‐sebut, meskipun ada perbedaan versi dalam sumber).

Bayangkan malam itu di pesantren Takeran, bagaimana santri-santri muda mengeja huruf Alif dan Ba’ dalam pendar cahaya lampu minyak, ketika suara langkah kaki bersenjata menggema di luar tembok. Bagaimana suara Al-Baqarah atau ayat-ayat tahlil terhenti oleh tangan yang menarik mereka secara kasar. Bagaimana santri kecil tidak mengerti mengapa kyai mereka dibawa pergi, tidak mengerti apakah besok mereka akan melihat kembali suara lembut panggilan adzan, atau pintu pesantren yang tertutup rapat menahan tangis yang tidak terdengar.

Bayangkan juga ibu-ibu di rumah sampai dimana mendengar kabar anak mereka hilang, atau jasadnya diseret ke sumur tua lalu ditimbun tanah tanpa doa. Tak ada penghiburan. Hanya deru angin malam, dan ratapan yang tak pernah benar-benar reda.

Kita bertanya: apa yang membuat ideologi komunis dalam peristiwa itu begitu haus darah terhadap ulama dan pesantren? Mungkin karena ulama dan pesantren tak hanya simbol keagamaan, tetapi simbol moralitas, suara nurani rakyat, suara yang lantang menolak jika ideologi tak mengandung Tuhan dan kemanusiaan. Dan karena pesantren adalah pusat ajaran akhlak, pendidikan, doa; mereka adalah tali pengikat komunitas lokal yang tidak bisa begitu saja dibungkam.

Sesudah peristiwa berdarah ini, terlihat dengan jelas bahwa TNI dan rakyat bersama ulama tidak bisa dipisahkan. Mereka bangkit bukan hanya dengan senjata, tetapi dengan doa. Mereka memikul beratnya luka, mereka mengubur mayat dan mereka mengubur dendam, semoga Tuhan berkenan.

Sejarah mencatat tidak semua yang hilang bisa kembali. Nama-nama yang diukir di Monumen Kresek, nama-nama di Prasasti Soco, nama tokoh pesantren di Takeran yang gugur atau menghilang — semua ada untuk diingat. Sebuah generasi melihat permukaan tanah yang dibanjiri darah dan langit yang dibelah senapan, tetapi juga melihat bahwa kesetiaan terhadap iman dan persatuan bangsa bisa menjadi lentera dalam malam terkelam.

Kita renungkan firman Allah SWT: “Wa la taqtulunn afsânan llatî harramAllâhu illâ bil-haqq…” (QS. Al-Isra’ : 33) — yang mengingatkan bahwa jiwa manusia itu suci dan tak boleh dicabut kecuali oleh hikmah yang benar, bukan oleh ideologi yang menghalalkan kekerasan. Kita renungkan ucapan Imam al-Ghazali bahwa kerusakan akhlak lebih berat dari runtuhnya dunia. Kita renungkan bahwa persatuan bangsa yang rapuh akan mudah terkoyak oleh angin fitnah, oleh janji manis kekuasaan yang merusak nurani.

Pemberontakan PKI 1948 bukan semata cerita sejarah yang tertutup debu buku. Ia adalah bayangan yang masih membayang di relung qalbu. Darah para syuhada di Kresek, di Soco, di Parang, di pesantren Takeran, adalah sumpah yang terus memanggil kita untuk tidak lupa. Kita kenang mereka bukan supaya membenci, tetapi supaya ingat bahwa ketika kita lengah, ideologi yang menolak Tuhan, yang menolak kemanusiaan, bisa kembali merenggut kaum dhuafa, ulama, santri dan rakyat biasa.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan mereka di tempat paling mulia di sisi-Nya, dan semoga bangsa ini selalu terjaga dari fitnah ideologi yang merusak iman, persatuan, dan nurani. Cukuplah luka tahun 1948 menjadi pengingat: cukup dikenang, jangan sampai terulang.

Check Also

Polres Nganjuk Catat Hasil Signifikan di Akhir Operasi Patuh Semeru 2025

Polres Nganjuk Catat Hasil Signifikan di Akhir Operasi Patuh Semeru 2025

Seputarkita,Nganjuk – Polres Nganjuk resmi menutup pelaksanaan Operasi Patuh Semeru 2025 yang digelar selama 14 …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *