SeputarKita, Magetan – Suasana Masjid Raden Patah Maospati, Senin malam (07/07/2025), dipenuhi getar haru dan keheningan spiritual. Ratusan jamaah dari berbagai penjuru Magetan dan sekitarnya memadati ruang utama masjid dalam pengajian kebangsaan dan dzikir bersama untuk keselamatan NKRI. Acara yang digelar dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam ini menghadirkan sosok ruhani yang telah menjadi lentera umat, KH. Muhammad Imaamul Muslimin, S.Pd, MM, atau yang akrab disapa Gus Imam—seorang mursyid thariqah, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Raden Patah Maospati.
Dalam bincang-bincang santai, usai acara, Gus Imam menyampaikan pandangan yang sangat mendalam, bahwa sejatinya krisis bangsa hari ini bukan semata bersumber dari runtuhnya angka-angka ekonomi atau kacaunya sistem birokrasi, melainkan dari rusaknya hubungan ruhani manusia dengan Rabb-nya. Menurut beliau, akar dari problem kebangsaan terletak pada jauhnya manusia dari Allah dan dzikir, serta mengeringnya kesadaran batin dalam kehidupan publik. “Problem bangsa ini bukan hanya data statistik atau grafik yang menurun. Yang lebih penting dan harus diperhatikan adalah bahwa hati kita makin jauh dari Allah, dzikir semakin sunyi, dan ruh bangsa kita kehilangan arah,” ungkapnya dengan suara tenang yang menyentuh relung kesadaran.
Dalam pengajiannya malam itu, Gus Imam yang juga seorang pendakwah Tarekat Syatthariyah dan penggiat dzikir jama’ah kelahiran kota Jember itu. memaparkan secara lugas berbagai persoalan global yang tengah menimpa negeri ini. Angka-angka resmi yang beliau kutip menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan nasional masih berada di angka 8,57% atau sekitar 24 juta orang, bahkan jika memakai standar kemiskinan global (PPP USD 8,30 per hari), maka sebanyak 68% penduduk Indonesia tergolong miskin. Tingkat pengangguran mencapai 4,9%, namun pengangguran usia muda melonjak hingga 17,3%. Pertumbuhan ekonomi melambat pada kuartal pertama 2025 hanya sebesar 4,87% YoY, sementara inflasi tahunan hanya 1,87% namun sempat mengalami deflasi, yang menandakan lemahnya daya beli rakyat. Korupsi masih menjadi penyakit akut bangsa dengan skor CPI 37 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat ke-99 hingga 115 dari 180 negara. Kelas menengah menyusut drastis dari 21,5% pada tahun 2019 menjadi hanya 17,1% pada 2024, sementara sektor informal mendominasi hingga 59,4% dari total tenaga kerja. Di sisi lain, anggaran pendidikan tinggi justru mengalami pemangkasan hingga 39%, mengisyaratkan bahwa arah pembangunan sumber daya manusia semakin jauh dari cita-cita keilmuan.
Namun bagi Gus Imam, semua data tersebut hanyalah cermin dari satu persoalan utama: matinya kesadaran ruhani. Maka menurutnya, solusi terbaik atas problem kebangsaan ini bukanlah semata reformasi struktural, melainkan transformasi batiniah yang mendalam dan menyeluruh. Beliau menguraikan bahwa dalam pandangan tasawuf, hakikat, dan ma’rifat, bangsa ini hanya akan bangkit jika kembali pada tajdidun niyyah dan tajdidul qalb—pembaharuan niat dan hati. “Ketika orientasi hidup bergeser dari lillah menuju lil-materi, maka segala amal menjadi rusak. Man lam yujaddid niyyatahu fi kulli saatin, fahuwa ‘abidul hawa—siapa yang tidak memperbarui niatnya di setiap saat, maka ia adalah penyembah hawa nafsu,” ujar beliau. Dengan niat yang kembali lillahi ta’ala, maka para pemimpin, pengusaha, pendidik, dan rakyat akan bergerak dengan keikhlasan, bukan kepentingan pribadi.
Beliau juga menekankan pentingnya tazkiyatun nafs—penyucian diri dari kerakusan, ketamakan, dan kecintaan dunia. “Allah berfirman, Qad aflaha man zakkāhā wa qad khāba man dassāhā—sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” Tanpa tazkiyatun nafs, hukum hanyalah pagar kering. Nafsu itu seperti anak kecil; jika dibiarkan, ia akan terus menyusu pada dunia. Tetapi jika disapih dengan dzikir, muhasabah, dan khalwat, ia akan tumbuh dewasa.
Menurut Gus Imam, masyarakat juga harus kembali pada maqam faqr, menyadari kefakiran mutlak di hadapan Allah. “Al-faqru fakhri—kefakiran kepada Allah adalah kebanggaanku,” kata Rasulullah. Kefakiran ini bukan soal harta, melainkan kesadaran bahwa semua yang kita miliki bukan milik kita. Negara yang hidup dalam maqam faqr akan menolong yang papa bukan karena citra, tetapi karena cinta.
Dalam menghadapi krisis ekonomi dan gejolak global, bangsa ini perlu bertawakkal dan ridha secara kolektif. “Man tawakkala ‘ala Allah fahuwa hasbuh—barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya,” ujar beliau seraya mengingatkan bahwa ketahanan batin jauh lebih penting daripada kekuatan militer. Ridha dalam kesulitan adalah benteng dari putus asa.
Ia menyerukan pentingnya menghidupkan kembali dzikir jama’i, robithoh, muroqobah, dan doa di tengah malam. “Bangsa ini tidak butuh seminar motivasi semata, tetapi perlu menara-menara dzikir yang membasahi hati yang kering.” Beliau mengutip ungkapan Ibn Qayyim, “Dzikir itu laksana air bagi ikan, dan hati tanpa dzikir adalah jasad tanpa ruh.”
Dalam dunia pendidikan dan kepemimpinan, yang dibutuhkan bukan sekadar nilai akademik atau angka IPK, melainkan qalbun salim—hati yang selamat dari penyakit riya, hasad, dan tamak. “Yawma la yanfa’u mālun wa lā banūn illa man atā Allāha biqalbin salīm—pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih,” tegas Gus Imam dengan mata yang teduh.
Ia juga menggambarkan bahwa dalam bidang ekonomi, yang diperlukan bukan hanya efisiensi, tapi maqam ihsan—kesadaran bekerja seolah melihat Allah. “Anta’budallāha ka’annaka tarāhu, fa in lam takun tarāhu fa innahu yarāk—beribadahlah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika tidak, maka sesungguhnya Dia melihatmu,” sabda Rasulullah. Bila kesadaran ini hadir dalam para petani, ASN, pejabat, pedagang, dan buruh, maka korupsi dan penipuan akan lenyap dengan sendirinya.
Gus Imam juga menyerukan agar budaya khalwat dan suluk yang diwariskan para wali-wali nusantara dihidupkan kembali. Negeri ini dahulu besar bukan karena kekayaan tambang atau investasi asing, tetapi karena ruh-ruh suci para auliya yang menghidupkan malam dalam zikir dan munajat. “Jika engkau ingin mengubah dunia, masuklah ke dalam batinmu, sebab dari situlah dunia dicipta,” ujar beliau lirih. Maka negeri ini harus kembali menyambung ruhnya yang tercerai dari cahaya langit.
Akhirnya, ia menutup pengajian dengan mengajak seluruh umat untuk kembali memandang hidup dengan musyahadah—melihat segalanya dengan mata Allah, bukan mata manusia. “Ya Rabb, perlihatkanlah pada kami wajah-Mu dalam tiap kejadian, agar kami tak tergoda oleh zahir yang menipu,” doanya. Beliau mengutip Imam Al-Ghazali, “Al-‘ālimu man yandhuru ilal wāqi’i bi ‘aynillāh, la bi ‘aynin nās—orang arif adalah yang memandang realitas dengan mata Allah, bukan mata manusia.”
Acara malam itu ditutup dengan dzikir khusus dan doa bersama yang mengalir lirih di antara isak tangis jamaah. Dalam kesyahduan malam, suara Gus Imam menembus langit Magetan: “Ya Allah, selamatkan bangsa kami dari kehancuran batin. Bangkitkan para pemimpin yang jujur, penuhi negeri ini dengan qalbun salim, satukan kami dalam dzikir, dalam cinta, dalam ridha-Mu…”
Malam itu, di Masjid Raden Patah, tak hanya lantunan dzikir yang menggema, tapi juga harapan dan keyakinan: bahwa bangsa ini akan bangkit bukan hanya dengan kebijakan teknokratis, tetapi dengan suluh ruhani yang menyala dari lubuk hati para pencinta Allah. Sebab sejatinya, pembangunan yang hakiki adalah ketika manusia membangun jiwanya, dan menyandarkan seluruh harapannya kepada Dzat Yang Tak Pernah Tidur. (red)