Oleh: Imam Yudhianto S., S.Pd., M.M.
Ketua Komisi Pendidikan Nasional Kabupaten Magetan
Hari Pendidikan Nasional tak seharusnya sekadar menjadi jeda seremonial dalam kalender birokrasi. Ia adalah momentum muhasabah nasional—perenungan kolektif yang menuntut kejujuran, keberanian, dan kerendahan hati untuk bertanya: ke mana arah pendidikan kita berjalan? Apakah ia masih mencetak manusia merdeka, atau justru menyiapkan generasi yang tunduk pada kecepatan sistem tanpa sempat bertanya tentang makna hidup itu sendiri?
Di tengah deru zaman yang dijejali oleh kecanggihan Artificial Intelligence, pendidikan diuji bukan hanya pada efektivitasnya, tetapi pada kemampuannya menjaga substansi: membentuk manusia seutuhnya. Sebuah tantangan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar memenuhi standar kelulusan atau target akreditasi. Kita hidup dalam era teknosentris, ketika mesin menjawab lebih cepat, algoritma membaca lebih tepat, dan data dipuja sebagai nadi kemajuan. Namun dalam semua itu, muncul pertanyaan purba yang kembali menggema: di mana letak jiwa manusia?
Ki Hadjar Dewantara pernah merumuskan pendidikan sebagai “tuntunan dalam tumbuhnya hidup anak.” Bukan sekadar pembelajaran instruksional, melainkan proses penumbuhan kodrati—tarbiyah yang bukan hanya menyentuh akal, tetapi juga merawat ruh. Pandangan ini sejalan dengan gagasan Imam Al-Ghazali bahwa ilmu tanpa adab akan melahirkan kekacauan, dan pengetahuan tanpa hikmah hanyalah fatamorgana kecerdasan.
Di sinilah pendidikan tidak cukup dibangun dengan paradigma mekanistik. Ia bukan jalur cepat menuju kerja, tetapi jembatan menuju kehidupan yang bermakna. Kita tidak sedang mencetak homo economicus—manusia yang semata mengejar hasil. Kita mendambakan lahirnya kembali homo humanus—manusia yang berpikir, merasa, dan berani berdiri di atas nilai. Di tengah derasnya teknologi yang menggerus batas realitas, pendidikan harus menjadi benteng terakhir yang menjaga keutuhan manusia sebagai makhluk spiritual, sosial, dan rasional.
Guru dalam konteks ini tidak cukup menjadi pengirim data. Ia adalah murabbi, penjaga bara nilai yang menyalakan lentera hikmah di tengah gelapnya zaman. Seperti dikemukakan Prof. H.A.R. Tilaar, pendidikan seharusnya berperan menciptakan manusia yang utuh secara moral dan spiritual, bukan hanya unggul secara kognitif. Maka guru bukan hanya pemberi informasi, tetapi pembimbing eksistensial. Ia menghadirkan dirinya sebagai teladan, bukan sebagai mesin yang menyampaikan modul.
Namun realitas kita jauh dari visi itu. Sistem pendidikan masih terlalu sibuk dengan angka: nilai rapor, grafik kurva, indeks, ranking. Kita memuja kuantifikasi sambil melupakan bahwa hakikat pendidikan bukanlah deretan angka, tetapi transformasi nurani. Di balik angka-angka itu, tersembunyi kisah para guru honorer yang tetap menyalakan harapan di tengah gaji yang tak sepadan. Mereka tak tercantum dalam laporan kemajuan nasional, tapi dari tangan mereka lah benih masa depan ditanam. Apakah kita cukup jujur menghargai mereka?
Darmaningtyas, seorang pemikir pendidikan kritis Indonesia, dengan tegas menyatakan bahwa reformasi pendidikan sejati bukan semata urusan struktur dan regulasi, tetapi ideologi. Untuk siapa pendidikan ini dibangun? Siapa yang mendapat manfaatnya? Siapa pula yang dikorbankan secara sistemik dalam ketimpangan sosial? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan esensial yang hanya bisa dijawab jika kita berani melakukan perubahan dari akar—bukan tambal sulam kebijakan yang mudah berubah tiap ganti rezim.
Tantangan semakin pelik saat AI mulai mengambil alih ruang-ruang otoritas pengetahuan. Anak-anak kita tak lagi bertanya kepada guru, mereka mencari jawaban dari mesin pencari. Buku pelajaran terasa lambat, tertinggal oleh chatbot yang bisa menjawab dalam hitungan detik. Maka yang terancam bukan hanya metode, tetapi ontologi pendidikan itu sendiri. Apa makna belajar ketika semua bisa diakses tanpa upaya? Apa makna kehadiran guru jika suara manusia digantikan suara mesin?
Di titik inilah kita harus melakukan ijtihad pendidikan. Sebuah pembacaan ulang atas makna pendidikan sebagai proses tazkiyah—penyucian jiwa. Kita tak cukup hanya menyiapkan anak-anak untuk kompetisi ekonomi. Kita harus menyiapkan mereka untuk hidup sebagai manusia. Maka spiritual resilience—ketangguhan batin—harus menjadi kompetensi utama di era pasca-digital. Bukan sekadar lincah menghadapi perubahan, tetapi mampu bertahan dalam badai krisis makna.
Kita butuh pendidikan yang menumbuhkan akhlak, bukan hanya kemampuan adaptif. Yang mengajarkan kesabaran dalam proses, keikhlasan dalam niat, dan keberanian dalam pilihan moral. Kita tak butuh manusia cepat yang kosong, tapi manusia lambat yang dalam. Sebab dalam riuh zaman yang memburu kecepatan, hanya mereka yang berakar kuat dalam nilai yang akan tetap tegak saat dunia terguncang.
Inilah makna sejati pendidikan: ia adalah luminous struggle, perjuangan yang bercahaya. Sebuah jihad sunyi yang tak selesai dalam satu generasi. Pendidikan sejati menanamkan rasa, membentuk kehendak, dan melatih akal untuk senantiasa mencari. Ia adalah tariq ilallah—jalan pulang menuju Tuhan. Sebab pendidikan bukanlah jalan menuju pasar kerja semata, tapi jalan menuju pengenalan diri yang dalam: man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu—barang siapa mengenali dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.
Dan kini, dalam setiap peluh guru yang tak dikenal, dalam setiap semangat anak-anak desa yang berjuang menembus batas, dalam setiap harap orang tua yang meyakini keberkahan ilmu, pendidikan sedang bergerak. Ia seperti mata air kecil yang diam-diam menumbuhkan kehidupan. Tak butuh tepuk tangan, tak butuh pujian, karena hakikatnya adalah pengabdian.
Maka, marilah kita rayakan Hari Pendidikan Nasional bukan dengan panggung gemerlap, tetapi dengan tekad sunyi. Bukan dengan jargon dan baliho, tetapi dengan perubahan yang nyata. Sebab pendidikan bukan soal seremoni, melainkan soal misi. Ia bukan soal hasil hari ini, tetapi warisan yang tak lekang esok hari.
Dan dari rahim pendidikan inilah, semoga lahir manusia-manusia tangguh yang bukan hanya pandai menulis kode, tetapi juga pandai membaca nurani. Bukan hanya cekatan membaca data, tetapi juga cerdas dalam membaca makna. Bukan hanya ahli berdebat, tetapi juga jujur dalam diam. Inilah manusia utuh yang dibutuhkan zaman—dan hanya pendidikan yang digerakkan oleh keikhlasan dan nilai yang bisa melahirkannya.