HAJI PERJALANAN RUH MENUJU RUMAH SANG KEKASIH

GUS IMAM (Mantan Jama’ah Haji Indonesia dari Magetan) 

 

SeputarKita – Haji bukan sekadar perjalanan fisik yang ditempuh dengan badan, tetapi ia adalah panggilan langit—undangan suci dari Alloh kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Ia adalah perintah agung yang pertama kali disampaikan Alloh kepada Khalilulloh, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, sang bapak para nabi. Dalam firman-Nya, Alloh berfirman: “Wa adzin fin-naasi bil-hajj, ya’tuuka rijaalan wa ‘alaa kulli dhoomirin ya’tiina min kulli fajjin ‘amiq” (QS. Al-Hajj: 27), artinya: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Maka dari panggilan ini, perjalanan pun dimulai—melangkah dengan segala daya dan upaya, entah menunggang kuda yang kurus, yang sedang, maupun yang tinggi besar. Semua menuju satu tujuan: Baitil Haram, rumah suci yang menjadi papan awisan (tempat perjanjian) antara langit dan bumi. Sebuah tempat yang bukan sekadar bangunan, tetapi medan pertemuan antara ruh manusia dengan Sang Pemilik Kehidupan.

Lalu ketika pakaian dunia ditanggalkan dan berganti dengan pakaian ihram yang sederhana, tubuh mulai bergetar, hati mulai tergerak, dan jiwa mulai berproses dalam perjalanan agung ini. Seolah-olah manusia sedang datang bertamu ke rumah Sang Pemilik Nama, Sang Pemilik Segala Wujud: Alloh Azza wa Jalla.

Kemudian kaki melangkah ke bukit Shafa, lalu berlari kecil menuju Marwah. Bukan sekadar langkah fisik, tapi ini adalah perjalanan spiritual: bertaraqqi (naik derajat) dan bertanjul (menembus batas). Setiap langkah adalah getar cinta, setiap peluh adalah bukti rindunya ruh untuk kembali ke asalnya.

Di lembah Zamzam, air kehidupan mengalir. Ia bukan sekadar pelepas dahaga, tapi simbol kemanunggalan dalam kedalaman ruh. Mereka yang meminumnya, sejatinya sedang meneguk tetesan keabadian—air dari rahmat yang mengalir tanpa henti bagi jiwa yang ingin kembali. Di situ, ruh diam dalam sunyi, merenungi keberadaan dirinya yang fana. Lalu dalam keheningan itulah, jati diri terkuak: bahwa sesungguhnya yang ada hanyalah Dia. Laa maujuda illa Huwa —tiada yang benar-benar wujud kecuali Dia.

Kemudian rambut dicukur. Namun sejatinya bukan hanya rambut yang dipotong, tapi ego ‘aku’ yang selama ini menutupi cermin hati. Satu per satu helai yang jatuh, menyimbolkan kebinatangan yang mulai luruh, angkuh yang mulai patah, dan nafsu yang mulai tunduk. Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamaati lillahi robbil ‘aalamiin—“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Alloh Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162).

Setelah itu, datanglah momen pengorbanan. Menyembelih bukan sekadar hewan, tapi hakikatnya adalah menyembelih hewaniah dalam diri. Sifat buas, rakus, sombong, tamak—semua itu adalah ternak dalam batin yang harus dipotong agar hati kembali suci. Itulah qurban sejati: mengorbankan diri demi kedekatan dengan Ilahi.

Lalu ziarah ke kota Nabi, Madinah Al-Munawwaroh, mengunjungi maqam Sayyidul Mursalin, Rasululloh Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam—sosok yang cerdas (fathonah), amanah, penyampai yang tulus (tabligh), dan terpercaya (shiddiq). Beliau adalah utusan yang ruhnya senantiasa dipenuhi kelembutan rahmah dan kasih sayang rahim. Dalam bahasa simbah kami, “Beliau itu loman,” yaitu sosok yang hatinya lapang memberi dan tidak pernah menolak hamba yang datang mengadu dengan air mata.

Rasa kebersamaan dengan Rasululloh tumbuh kuat di kota suci itu. Setiap langkah seolah menapak jejak perjuangan beliau, setiap tarikan nafas mengingatkan akan cintanya yang tak pernah lekang kepada umatnya. Ummatii… ummatii… demikian keluh beliau, bahkan dalam sakaratul maut. Maka siapa yang tak menangis saat menziarahinya?

Dan setelah semua itu selesai, kembalilah insan ke negeri asal, ke kampung diri—membawa ruh yang baru, hati yang bersih, jiwa yang lebih baik, dan tekad untuk senantiasa memperbaiki diri. Itulah makna sejati dari Haji Mabrur: haji yang tak hanya membawa oleh-oleh duniawi, tetapi membawa oleh-oleh ilahiah—berupa perubahan diri yang hakiki.

Haji bukan akhir dari perjalanan, tapi awal dari pengenalan diri. Di dalamnya ada perjumpaan ruh dengan Penciptanya, ada laku pengosongan diri, ada tangisan yang menyucikan, dan ada kedekatan yang menenangkan. Siapa yang benar-benar menjalani haji dengan hati, niscaya akan pulang dengan jiwa yang tenang.

Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Fajr ayat 27-30:

Yaa ayyatuha an-nafsul muthmainnah, irji’ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii jannatii—“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridho dan diridhoi. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Begitulah haji. Ia adalah perjalanan lahir dan batin, tubuh dan ruh. Dari panggilan, menuju perjalanan. Dari perjalanan, menuju pengosongan. Dari pengosongan, menuju pertemuan. Dan dari pertemuan, menuju penyatuan.

Semoga kita semua kelak diberi kesempatan untuk memenuhi panggilan agung ini. Dan bila belum, semoga setiap sujud dan air mata kita menjadi wuquf kecil, thawaf kecil, sa’i kecil—yang membuat ruh kita senantiasa mendekat, meski jasad belum sempat sampai.

Check Also

Warga Ngemplak RW 05 Teladani Nabi Ibrahim AS Dengan Qurban

Warga Ngemplak RW 05 Teladani Nabi Ibrahim AS Dengan Qurban

  SeputarKita, Surabaya – Qurban adalah ibadah menyembelih hewan ternak tertentu sebagai bentuk ketaatan kepada …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *