Peran Guru Dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa

 

Oleh : Muries Subiyantoro

Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI (Local Government and Political Research Institute) Magetan

 

 

Fenomena Pendidikan

Hal yang sangat sering kita dengar dalam dekade terakhir ini adalah menurunnya mutu pendidikan, darimana masyarakat menilai? Apa yang diamati oleh masyarakat adalah anak sekarang tidak dapat memahami hal-hal yang sederhana yang terjadi di sekelilingnya baik dalam fungsi hitung-menghitung, fungsi sosial, maupun perilaku dan moral mereka. Mereka lebih senang tawuran daripada belajar padahal mereka diberi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama yang sarat dengan nilai-nilai moral dan etika selama bertahun-tahun, mereka lebih senang membuat gaduh dan tidak tertib daripada berkreasi, mereka cenderung menginginkan segala sesuatu yang instan tanpa mau bersusah payah dan berpikir keras, inisiatif serta kreativitas mereka terbatas. Dimana letak kesalahan pendidikan kita? Siapa yang salah? Para siswa, orang tua, pendidik, sistem pendidikan kita atau Pemerintah sebagai pengambil kebijakan?

Sistem pendidikan kita membatasi setiap ruang gerak anak. Anak tidak mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan apa saja yang menjadi buah pemikirannya. Mereka “ditakdirkan” hanya cukup menerima pemberian guru. Sebab jargon yang mengatakan bahwa “guru tahu segalanya” masih banyak berlaku sehingga sistem yang berjalan adalah satu arah, hanya dari guru ke anak. Tidak ada informasi dari anak ke guru, atau timbal balik keduanya. Bukan hanya guru, tetapi pendidikan secara menyeluruh telah menciptakan generasi inggah-inggih (generasi “asal bapak senang”).

Tidak dapat dipungkiri kalau sistem pendidikan seperti ini akan mematikan kreativitas, sikap kritis dan potensi siswa. Pendidikan justru membawa para siswa menjadi ‘jauh’ dari lingkungannya, tidak peka terhadap lingkungannya sendiri karena hanya mementingkan hal-hal yang bersifat akademis dan materiil. Pelajaran-pelejaran hanya diberikan secara teoritis belaka tanpa ditelaah secara mendalam dan mengkritisnya.

Hal-hal tersebut di atas membawa siswa tumbuh dan dibentuk menjadi pribadi-pribadi yang individualis, dangkal dan lama kelamaan akan menanamkan sifat “emang gue pikirin”, sementara guru-guru hanya melaksanakan tugasnya sebagai pengajar, bukan sebagai pendidik karena mereka hanya mengejar target materi-materi kurikulum.

Salah satu kelemahan utama pendidikan kita adalah tidak membangun kesadaran kritis siswa dalam belajar. Kita lebih banyak menjejalkan pengetahuan ke dalam otak siswa tanpa mau tahu apakah pengetahuan yang kita berikan diserap dengan baik atau tidak karena kita hanya menuntut mereka untuk menghafalkan apa yang kita berikan. Tidak heran kalau siswa sering kali menjawab “tidak tahu” jika guru bertanya sesuatu yang baru saja diajarkan kepada mereka. Dalam taxonomi Bloom tingkat belajar yang paling rendah adalah menghafal dan ini sudah menjadi pola belajar siswa kita bahkan sampai tingkat mahasiswa sekalipun. Bagaimana mungkin otak mereka mampu menyerap secara mendalam ilmu pengetahuan yang kita berikan karena terlalu banyaknya bahan pelajaran yang kita berikan, dengan demikian pengetahuan itu tidak sempat mengendap dan dicerna dengan baik.

Lalu pertanyaannya menjadi, apakah yang hendak kita capai melalui pendidikan untuk anak-anak kita? Orang tua mengharapkan anaknya bertumbuh menjadi manusia yang mandiri dan mampu menentukan pilihan-pilihannya secara bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan kesadaran kritis mengenai tanggung jawab sebagai manusia. Lalu mengapa kita tidak membangun kesadaran kritis para siswa untuk belajar sesuatu yang lebih berguna, dengan demikian siswa akan belaajar “living value”.

Kesadaran Kritis

Berpikir kritis merupakan salah satu ciri manusia yang cerdas. Akan tetapi berpikir kritis akan terjadi apabila didahului dengan kesadaran kritis yang diharapkan dapat ditumbuh kembangkan melalui pendidikan. Disadari bahwa guru mengemban berbagai peran sebagai pembelajar di sekolah, akan tetapi telaah tulisan ini dibatasi pada perannya dalam membangun kesadaran kritis siswa.

Paulo Fraire, seorang ahli pendidikan dari Brazilia, (1921-1997) banyak mengkritisi teori-teori dan praktek pendidikan pada jamannya. Dalam bukunya yang terkenal yakni Pedagogy of Opressed, 1978 (Pendidikan Kaum Tertindas) dan Cultural Action for Freedom, 1977 (Gerakan Kebudayaan Untuk Kemerdekaan), menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga kategori: Kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis.

Kesadaran magis (magical consciousness), adalah suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara suatu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran naif (naival consciousness), kesadaran ini lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Kesadaran kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih siswa dapat untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya.

Bagi Fraire pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, sistem pendidikan yang ada selama ini dapat diandalkan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education). Pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi anak didik sebagai objek investasi dan sumber deposito potensial.

Menurut Fraire, sistem pendidikan sebaiknya harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sistem penddidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia terasing dan tercerabut (disinherited masses) dari realita dirinya sendiri dan karena ia telah dididik menjadi seperti orang lain yang bukan dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Kemanunggalan karsa, kata dan karya disebut praxis. Prinsip praxis inilah yang menjadi kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan Fraire.

Dengan aktif bertindak dan aktif berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahn nyata, dan dalam suasana yang dialogis, maka pendidikan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Proses kesadaran seseorang merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang tidak boleh berhenti atau mandeg, harus senantiasa berproses, berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat “kesadaran naif” sampai ketingkat “kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam yaitu “kesadarannya kesadaran” (the consice of the consciousness).

Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis akan dapat berpikir kritis, tidak membeo saja, tetapi dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir kritis untuk dapat menjawab tantangan masa depan pada era globalisasi yang serba tidak pasti dan berubah sangat cepat.

Berpikir kritis mencakup seluruh proses mendapatkan, membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, internalisasi dan bertindak melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Berpikir kritis bukan sekedaar berpikir logis sebab berpikir kritis harus memiliki keyakinan dalam nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya sebelum didapatkan alasan yang logis dari padanya (Steven D. Schafersman, 1998). Berpikir kritis berarti berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang dunia. Berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan terampil berpikir yang fokus dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya.

Peran Guru

Kesadaran kritis sangat diperlukan dalam pengembangan pribadi dan intelektual siswa dalam kehidupan sekarang dan maupun kemudian hari. Kesadaran kritis dan berpikir kritis dapat dibangun melalui pendidikan di sekolah dan secara khusus melalui kegiatan belajar dan pembelajaran.

Untuk menumbuhkan kesadaran kritis serta berpikir kritis siswa dengan menempatkan siswa sebagai subjek, maka hal-hal berikut perlu diperhatikan guru.

Pembelajaran di kelas harus berubah dari berpusat kepada guru menjadi berpusat kepada siswa.

Guru berperan sebagai fasilitator untuk melayani siswa dalam membelajarkan siswa dan membuat siswa mengalami serta menyukai belajar. Untuk itu guru senantiasa belajar terus menerus mengaktualisasi diri, memperluas dan memperdalam pengetahuannya agar efektif dalam memfasilitasi siswa dalam belajar.

Mengajar dengan mengembangkan metode dialogis dalam diskusi, memberi kesempatan pada siswa untuk berpikir dan mengendapkan pengetahuannya, memberi kesempatan untuk bertanya, berdebat, bereksplorasi untuk menemukan suatu pemahaman yang baru.

Dalam membelajarkan siswa maka pembelajaran dibuat semenarik mungkin untuk memotivasi siswa sehingga senang belajar, dengan demikian merangsang otak untuk dapat menerima pengetahuan/pemahaman baru lebih cepat.

Membuat perencanaan, persiapkan dengan media yang dapat membantu siswa dalam mengalami belajar, menemukan dan merumuskan sendiri pengetahuannya.

Guru berperan sebagai agen perubahan dengan berani mengubah paradigma berpikirnya yaitu menjauhkan diri dari ketakutan dan keengganan mengubah cara mengajarnya yang tidak efektif serta bersikap terbuka.

Kesadaran kritis akan terbentuk jika siswa merasa bebas dalam berpikir, berpendapat dan mengekspresikan diri dalam suasana belajar yang terbuka, tidak banyak aturan-aturan yang membelenggu, multi-nilai, multi-kebenaran, diperbolehkan ‘salah’, menerapkan metode ilmiah. Guru tidak menggurui karena guru dan siswa setara.

Kesadaran kritis akan membentuk pola pemahaman konsep yang kuat bukan sekedar menghafal, mampu untuk mencerna pengetahuan dengan mendalam, memiliki cara berpikir kritis menghadapi masalah-masalah sehari-hari dalam kehidupan. Pembelajaran dengan membangun kesadaran kritis akan menghasilkan pembelajaran yang bermutu.

Pembelajaran yang dapat meningkatkan kesadaran kritis siswa ialah pembelajaran yang membuat siswa menjadi pelaku dan berperan aktif dalam proses belajar dan pembelajaran. Peran aktif siswa dapat dirangsang dan ditingkatkan dengan metode pembelajaran yang berfokus pada kegiatan siswa untuk mengalami belajar (learning by doing). Guru sebaiknya melakukan perubahan dalam mengefektifkan perannya untuk membangun kesadaran kritis siswa sehingga dapat menampilkan pembelajaran menjadi lebih bermutu dan bermakna. Semoga bermanfaat!

 

Check Also

Polres Ngawi Amankan 3 Tersangka Sindikat Illegal Logging

  SeputarKita, Ngawi – Satreskrim Polres Ngawi Polda Jawa Timur bersama Perhutani berhasil mengungkap kasus …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *