SeputarKita, Magetan – Merasa terusik atas tindakan kasar dan pemaksaan terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS) saat persidangan kedua secara online oleh pihak berwenang pada sidang lanjutan kasus pelanggaran Prokes, tanggal 19 Maret 2021 di PN Jakarta Timur.
Habaib, Ulama, Tokoh, Santri, dari Ponpes, Ormas, Harokah Islam dan segenap kaum muslimin yang tergabung dalam Gerakan Ummat Islam Bersatu (GUIB) Kabupaten Magetan menyatakan siap berada di depan untuk membela Dzurriyah Nabi shalallahu ‘alayhi wassallam tersebut.
“Kami siap untuk bergerak membela HRS dalam satu komando, sebab dalam konteks ini HRS bukanlah seseorang tahanan yang merugikan atau membahayakan negara dan rakyat Indonesia, seperti halnya para koruptor, pengedar narkoba atau pemberontak pemerintah yang sah. Bahkan beliau adalah seorang Ulama sekaligus anak cucu Baginda Nabi yang wajib dijaga marwah kehormatannya,” ujar Gus Imam, Ketua GUIB Magetan, Senin (22/03/2021) usai berkoordinasi dengan elemen ummat islam di Plaosan, Magetan.
GUIB menuntut agar dalam proses persidangan HRS diperlakukan secara adil dan terhormat, karena tuduhan kepada HRS hanya soal kerumunan apalagi pihak keluarga telah membayar denda administratif 50 juta kepada pemerintah DKI Jakarta.
GUIB juga mendesak agar Majelis Hakim membebaskan HRS dan para pejuang Islam lainnya yang terkait sdengan perkara pelanggaran prokes tanpa syarat. Sebab, jika mencermati tata urutan konsideran MENGINGAT mulai dari Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur Pemrovinsi DKI Jakarta No. 80 Tahun 2020, hingga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang berujung pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka sanksi denda administratif sebesar 50 juta yang dijatuhkan terhadap HRS telah sesuai dengan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sehingga seyogyanya segala tuntutan Jaksa terhadap HRS tidak dapat lagi dilakukan. Karena proses hukum (Nebis In Idem) kepada bersangkutan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 76 KUHP.
“Sudah saatnya Konsep Peradilan beralih kepada restorative justice, hukum ditegakkan untuk menyelesaikan konflik dengan perdamaian. Bukan dengan menerapkan konsep retributive justice yang cenderung menjadikan hukum sebagai sistem pembalasan dan alat untuk menakut-nakuti pelaku tindak pidana. Oleh karena itu sudah seharusnya proses perkara dalam peristiwa Maulid dan Pernikahan anak beliau di Petamburan dinyatakan batal demi hukum,” tuntut Gus Imam.
Gus Imam juga menyampaikan, bahwa dalam kasus ini banyak sekali bentuk kedzaliman yang menimpa HRS, salah satunya adalah soal penahanan dan penetapan status tersangka. Sebagaimana telah diketahui bahwa selain belum diperiksanya HRS sebagai saksi, secara tiba-tiba tanpa dasar hukum yang jelas penyidik langsung mengumumkan kepada media massa, bahwa HRS ditetapkan Tersangka dan bahkan penyidik menerbitkan Surat Perintah Penangkapan yang lucunya dilakukan di dalam Kantor Polisi saat HRS datang dengan sukarela dan dilanjutkan dengan penerbitan surat penahanan atas diri beliau.
”Oleh karena Surat Perintah Penangkapan dan Penahanan yang diterbitkan oleh penyidik atas HRS, dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu memeriksa yang bersangkutan sebagai saksi, maka penetapan tersangka dan perintah penangkapan serta penahanan atas diri HRS adalah tidak sah, dan inilah salah satu penyebab yang mendorong kami menuntut agar HRS segera dibebaskan,” ujarnya.
Lalu soal persidangan online, Gus Imam berpendapat bahwa landasan hukum UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang telah mengatur proses persidangan, tidak dengan serta merta dapat dirubah secara daring, dan tidak cukup hanya melalui perjanjian kerjasama, surat edaran institusi maupun Peraturan Mahkamah Agung sekalipun (vide UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Per UU Pasal 7), karena kehadiran secara fisik dimuka persidangan adalah menyangkut pemenuhan hak asasi saksi dan terdakwa.
“Dan persetujuan terdakwa dalam hal ini yang merupakan syarat yang terpenting, demi tegaknya keadilan dan penegakan Hak Asasi Manusia,” tegasnya.
GUIB juga meminta agar tidak terjadi gejolak dan kegaduhan secara meluas di masyarakat. Ke depan, Pemerintah perlu lebih bersabar dan berhati-hati dalam menangani berbagai persoalan Ulama dan tokoh ummat, hendaknya selalu mengedapankan penyeselesaian secara persuasif dan komunikatif.
“Sudah saatnya Pemerintah bersedia membuka pintu kebebasan berpendapat dan berekspresi, memberi ruang tumbuh dan berkembangnya demokrasi sesuai dengan Pancasila dan norma hukum yang berlaku. Bukan malah membungkam fakta dan kebenaran. Kami juga menginginkan agar Pemerintah dan para Ulama bersinergi untuk menjaga situasi dan kondisi yang penuh kedamaian dan ketentraman, bahu membahu menghentikan segala bentuk kezaliman, kebodohan, keterbelakangan dan ketidakadilan,” tutur Gus Imam.
“GUIB akan terus memantau perkembangan sidang dan tidak menutup kemungkinan akan melakukan pergerakan dalam satu komando sampai terciptanya keadilan hukum untuk HRS,” pungkasnya. (red)