MADIUN DIBAWAH TRAH BUPATI PRAWIRODIRJO

                                                   

Setelah Perjanjian Gianti Pangeran Ronggo Prawirosentiko di angkat sebagai Bupati Wedana di Madiun, dengan nama baru Ronggo Prawirodirjo dan berkedudukan di istana lama di Kranggan.

Masa pemerintahan Ronggo Prawirodirjo I, dibangun istana baru di Desa Wonosari, sebelah utara kali catur, tidak jauh dari istana Kranggan. Istana ini digunakan sebagai kantor Dinas Bupati Wedono. Menurut buku ”De Stand der Voedingsmidellen” oleh De Vorstenlanden. Struktur pemerintahan pada waktu itu terdiri :

Bupati : dibantu kerabat ( kaum sentana) sebagai pemegang policy daerah serta penerus perintah dari Pusat.

Patih : tugas pokok mengemudikan jalannya pemerintahan sehari-hari

Mantri Besar : tugas membagi pekerjaan negara dan sekaligus mengawasi

Mantri : terdiri beberapa orang Mantri yang menguasai di bidang masing-masing yaitu, Mantri Praja, Mantri Tani, Mantri Keuangan, Mantri Hukum

Beberapa Pegawai Istana

Kelima jajaran itu disebut Kaum Priyayi

Pada tingkat Desa susunannya adalah :

Bekel (Kepala Desa) : Pejabat pemerintahan di Desa

Carik : pelaksana jalannya pemerintahan

Kebayan : memberi perintah dan menarik pajak

Kepetengan : Mengatur keamanan desa

Modin : urusan keagamaan (islam) perkawinan, kelahiran dan kematian

Beberapa desa yang berdekatan , dibentuk seorang DEMANG dengan tugas sebagai koordinator dari para Bekel dan beberapa Kademangan di bentuk lah seorang Koordinator yaitu, PALANG atau disebut juga Lurah Palang.

Dalam Buku ”Kebudayaan Islam” oleh Mohammad Natsir mengutarakan bahwa, pertemuan pejabat-pejabat tertentu biasanya dilaksanakan pada hari Senin, Rabu dan Sabtu. Bertempat di Pendopo istana atau disebut Mandapan ( mandapa, Pendapa)

Tahun 1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman Taman yang kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah Perdikan. Raden Mangundirjo putra dari Ronggo Prawirodirjo I, naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Bupati Wedono Mancanegara Timur bergelar Ronggo Prawirodirjo II (1784-1797) selama 13 tahun sebagai bupati ke 15. selain berkedudukan di Istana lama, Kranggan beliau juga membangun kembali Istana Wonosari (sekarang Demangan/Kuto Miring) sebagai Istana Bupati Wedono Madiun. Raden Mangundirjo, adalah seorang yang pemberani, cakap dan lincah. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengkubuwono I.

RONGGO PRAWIRODIRJO III (1797-1810) Bupati ke 16 adalah putra dari Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya, pusat pemerintahannya di Istana Maospati namun beliau sering menetap di Yogyakarta. Beliau berkediaman di 3 tempat yaitu Yogyakarta, Maospati dan Wonosari. Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan Pasukan Yogyakarta, atas kehendak Belanda di Ds. Sekaran (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup dekat makam Imogiri. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Ronggo Prawirodirjo III dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak disamping makam Permaisurinya yaitu GKR Maduretno dan dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.

PERLAWANAN BUPATI MADIUN TERHADAP BELANDA

Pangeran Ronggo Prawirodirjo III termashur keperwiraanya, taat beribadah dan sangat anti terhadap Kolonial Belanda. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Kabupaten Mediun pada waktu Pemerintahan Ronggo Prawirodirjo III berpusat di Maospati, namun karena kesibukannya sebagai penasehat Sultan, maka beliau sering menetap di Kraton Yogyakarta. Didalam Kraton Kasultanan sendiri terjadi perseteruan antara Ronggo Prawirodirjo III di bantu Tumenggung Sumodiningrat melawan Adipati Danurejo II yang mengantek pada Belanda.

Sejak 31 Desember 1799, Kekuasaan VOC dibubarkan, dan 1 Januari 1800 digantikan dengan ”Pemerintah Hindia Belanda” yang dipimpin oleh Mr.Willem Daendels yang berpangkat Gubernur Jenderal, hal ini akibat perubahan politik di negeri Belanda, Napoleon Bonaparte dari Perancis berhasil menaklukan Belanda, maka Jawa dikuasai oleh orang Belanda Perancis.

Pada masa ini terjadilah perselisihan antara Willem Daendels dengan Ronggo Prawirodirjo III, yang diawali dari permintaan tata tertib upacara protokoler yang di tetapkan Daendels, yaitu dalam upacara pisowanan di Istana Yogyakarta, Residen Belanda dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk sejajar dengan Sultan, serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda. Dengan tata tertib tersebut, Ronggo Prawirodirjo III sebagai penasehat Sultan merasa terhina, dan menyatakan tidak senang terhadap Belanda, terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan yang dilakukan Belanda didalam Istana Yogyakarta.

Perselisihan yang paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20 kapal perang Belanda.

Bersamaan dengan itu, di luar istana banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan yang menurut Belanda, semuanya terjadi atas perintah Bupati Madiun.

Berdasarkan “memorie” Residen Yogyakarta Johanness Gerardus Van Den Berg. Pembunuhan yang dilakukan Bupati Madiun di Desa Delanggu, ketika perjalanan ke Yogyakarta. Putra Raden Ronggo Prawirodirjo minta seekor kambing yang bagus yang digembala, karena pemilik kambing tersebut tidak mau menjual dengan harga berapapun, maka si penggembala terbunuh oleh Raden Ronggo Prawirodirjo, hal ini menjadi sebuah pemberitaan yang hangat di Negeri Agung Yogyakarta.

Pebruari 1810, Gubernur Jendral H.W. Daendels mengambil tindakan keras dengan adanya kerusuhan yang terjadi di wilayah Ponorogo, yaitu di Desa Ngebel dan Sekedok yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Yaitu terjadi pembunuhan dan perampokan yang akhirnya terjadi saling serang di wilayah perbatasan Madiun dan Ponorogo.menurut Babad, Ponorogo selalu menderita kekalahan, karena pertahahanan dan perlawanan di daerah tersebut tidak sebaik dan sekuat pertahanan Kasultanan Yogyakarta yang ada di Madiun, maka Daendels minta agar Sultan Yogyakarta memberi ganti rugi atas kejadian tersebut, akan tetapi Sultan menolak, beliau minta agar hal tersebut diselidiki bersama lebih dahulu. Hasil keputusan dari penelitian, Bupati Madiun di anggap bersalah, maka Bupati Ronggo Prawirodirjo III mengajukan pembelaan dengan pengajuan pengaduan sejenis pada Kasunanan Surakarta, namun tak dihiraukan oleh Daendels.

Kemudian Perampokan dan pembunuhan serupa terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak. Kerusuhan tersebut dipimpin seorang Demang dari Tirsana ”Tirtowijoyo” juga dituduh sebagai kaki tangan yang sengaja diselundupkan oleh Ronggo Prawirodirjo III. Untuk kesekian kalinya Ronggo Prawirodirjo III di anggap bersalah.

Hal yang sangat menyakitkan Ronggo Prawirodirjo III, yaitu penetapan Gubernur Jendral H.W Daendels yang menetapkan bahwa seluruh hutan di Jawa adalah menjadi milik Pemerintah Belanda, dengan penetapan tersebut hutan di wilayah Madiun di babad oleh Residen Yogyakarta Minister Morreess, yang akan digunakan untuk membuat 20 kapal perang di Surabaya. Ronggo Prawirodirjo III menolak keras penebangan hutan tersebut.

Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang telah dituduhkan pada Ronggo Prawirodirjo III tersebut diatas, Gubernur Jendral W.H. Daendels minta kepada Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman menurut Undang-Undang negeri Belanda, melalui Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :

1. Sultan agar menerima upacara protokoler baru yang sudah ditetapkan Daendels.

2. Mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan.

(semula dipecat karena berpihak pada Belanda)

3. Memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap membahayakan Belanda)

4. Memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya minta ampun kepada Gubernur Jendral.

Apabila empat tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral beserta tentara akan datang sendiri ke Yogyakarta untuk menghukum Sultan. Suasana tersebut diatas memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Belanda, agar tulang punggung kasultanan Yogyakarta tersebut lumpuh, serta mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur dari tangan Kasultanan Yogyakarta.

PERLAWANAN RONGGO PRAWIRODIRJO III TERHADAP BELANDA

Isi tuntutan Pemerintah Hindia Belanda yang akan merobah tatanan Upacara Protokoler Istana yang sangat merendahkan Raja dan menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III kepada Gubernur Jendral H.W. Daendels dirasa sangat berat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, maka tanggal 12-11-1810 Istana Yogyakarta dikepung 1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga akhirnya tuntutan tersebut berangsur-angsur terpaksa dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono II, Patih Danurejo II diangkat kembali menjadi Patih Kerajaan, sedangkan Patih Notodiningrat diturunkan jabatannya menjadi Bupati Dalam. Tanggal 13-11-1810 mulai dilaksanakan tuntutan untuk merubah upacara istana dan memerintah Ronggo Prawirodirjo III untuk datang ke Istana Gubernur Jendral di Bogor.

Dalam hati Ronggo Prawirodirjo III, jika memenuhi perintah Sultan (ayah mertuanya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor, berarti menyerah dan mau dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah menyadari bahwa Belanda memang menginginkan kematiannya, namun jika tidak memenuhi , Sultan akan menderita karena harus memenuhi keinginan Gubernur Jendral Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan istana Yogyakarta kembali ke Maospati dan menetapkan keputusannya untuk “Melawan Pemerintah Belanda” untuk mengelabuhi Belanda, belau menulis surat kepada Van Broom dan Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan bahwa beliau akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jendral di Bogor. Adapun surat khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam menjelang kepergiannya datang ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam itu Raden Tumenggung Notodiningrat dan Sumodiningrat (Putra Tumenggung Notokusumo) berada di tempat tersebut. Ronggo Prawirodirjo III menyatakan bahwa beliau sudah tidak tahan dengan tipu muslihat Patih Danuredjo II, beliau pasti ditangkap dan di buang oleh Belanda. Oleh karena itu kehendaknya hanyalah mengikuti istrinya yang telah meninggal dunia, beliau bersedia mati bersama-sama Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III akan mengadakan perang gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Selanjutnya beliau minta agar istananya dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak. Beliau juga minta agar rencananya itu di beritahukan kepada Sultan agar mendukung perlawanannya terhadap Belanda.

Tanggal 20-11-1810, Bupati Madiun Memproklamasikan “Perang Melawan Pemerintah Belanda” mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut. Tanggal 21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati diikuti oleh 300 prajurit Yogyakarta, dalam perjalanan beliau telah mengadakan pengrusakan dan pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan Belanda. Beliau menyerukan ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang” 14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran”

Tindakan pertama, untuk memperluas medan perang, Ronggo Prawirodirjo III mengirim surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara, dan Para Bupati diwilayah tersebut, Isi surat itu adalah:

Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta mengakui Ronggo Prawirodirjo III sebagai Sultan Madiun dengan gelar ”Susuhunan Prabhu ing Alogo”

Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di Nusantara

Agar orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang militan, bersedia masuk menjadi tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda

Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui, bahwa Belanda berusaha mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja daerah, guna terjaminnya kelangsungan hak monopoli Belanda yang menyusahkan kehidupan rakyat, maka dari itu untuk mengurangi perluasan kekuasaannya segera dilawan sampai titik darah penghabisan

Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda yang ada terlebih dahulu, perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para pegawai Belanda, mereka mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu bertindak curang untuk memperkaya diri, akibatnya rakyat sangat menderita.

Agar semua memohon berkah Sultan Yogyakarta dan Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan untuk melawan penjajah Belanda

Pagi harinya tanggal 21-11-1810, Sultan memanggil semua Pangeran, sentana, para kerabat dan para Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan Bupati Madiun kepada Belanda, untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah maka Sultan melaporkan hal ini kepada Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai bukti Sultan menyerahkan Notokusumo dan Pangeran Raden Notodiningrat kepada Pemerintah Belanda dengan syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap atau dibunuh, agar kedua pangeran tersebut di kembalikan ke Istana Yogyakarta.

Menurut buku Babad Amangku Buwono, penyerahan kedua pangeran tersebut mendatangkan suasana duka yang mendalam di istana Yogyakarta, mereka ke Semarang diantar oleh Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dan nyonya.

Di Semarang pada waktu itu pula,( 21-11-1810 ) sedang berlangsung rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan Panglima Perang Van Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dengan keputusan bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II akan di copot dan diganti Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu dan melindungi perlawanan Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku Buwono II untuk segera membasmi pemberontakan Bupati Madiun.

Berdasar keputusan Semarang tersebut, terpaksa Sri Sultan Hamengku Buwono II segera mengirim pasukan kerajaan yang terdiri dari 1.000 prajurit infanteri dan 12 prajurit kavaleri di bawah pimpinan Panglima Perang Raden Tumenggung Purwodipuro, di bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu, Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III. Sedang di pihak Bupati Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit setia di bawah panglima perang Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang tak terhitung banyaknya.

Menurut Babad Tanah Jawa, Kabupaten Jipang dan Panolan yang menjadi pusat pertahanan prajurit Kasultanan Yogyakarta, berhasil di hancurkan oleh pasukan Madiun. Dalam ekspedisi ini pasukan Madiun selalu unggul. Tumenggung Purwodipuro adalah seorang yang penakut, beliau enggan melawan Ronggo Prawirodirjo III, akhirnya pasukan Kasultanan kembali ke Istana Yogyakarta.

Kegagalan ekspedisi pertama ini membuat Sultan marah, Tumenggung Purwodipuro di pecat dari jabatan Bupati Dalam, diangkat panglima baru yaitu, Pangeran Adinegara di bantu Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo untuk memimpin ekspedisi yang kedua, ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah Kabupaten Madiun belum terjamah oleh pasukan kasultanan, medan pertempuran berpusat di perbatasan Ngawi dan perbatasan Magetan.

Ekspedisi ketiga dibawah pimpinan Pangeran Purwokusumo, ini juga menemui kegagalan, barulah pada tanggal 7 Desember 1810 diangkat panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) dengan dibantu Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld dengan 12 pasukan kavaleri. Pertempuran dahsyat terjadi di pusat-pusat pertahanan Kabupaten Madiun dan mampu dikuasai oleh pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat perlawanan tinggal di Kabupaten Madiun. Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa tanggal 7 Desember 1810, pada malam hari, Istana Maospati, Madiun berhasil diduduki oleh pasukan Yogyakarta tanpa ada perlawanan. Pangeran Dipokusumo menduduki Istana Maospati hingga 3 hari tanpa mendapat gangguan dari musuh, hal ini disebabkan pusat pertahanan telah dipindahkan ke Istanan Raden Ronggo Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.

Tanggal 11 Desember 1810, Istana Wonosari dan sekitarnya berhasil diduduki pasukan Yogyakarta, saat itu keluarga Bupati Madiun terpisah dengan pasukan induk, pasukan Raden Ronggo Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke Kabupaten Kertosono.

Oleh karena sebagian keluarga Raden Ronggo Prawirodirjo III terpisah dengan pasukan induk maka, 2 adik, beberapa anak dan ibu Raden Ronggo Prawirodirjo III di tangkap dan di serahkan pada Sultan sebagai tawanan di Yogyakarta.

Tanggal 12 Desember 1810 situasi di Madiun sudah aman, hingga Letnan Paulus leluasa mengadakan pengamatan terhadap situasi daerah Madiun, yang kemudian hari dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka Letnan Paulus adalah orang Belanda pertama yang mengetahui seluk beluk Kabupaten Madiun.

Sejak 10 Desember 1810, pusat pertahanan Raden Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan ke Kertosono, dengan sisa prajurit 100 orang. Tanggal 13 Desember 1810 Pangeran Dipokusumo memerintahkan pasukan Yogyakarta mengejar ke Kertosono di bawah perintah Bupati Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di dampingi sersan Leberfeld.

Pada tanggal 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Bojonegoro, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung dengan Pasukan Yogyakarta , seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang berani dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.

Demi nama keluarga perlawanan dihentikan, yang dihadapi sekarang bukanlah Belanda, tetapi Pangeran Dipokusumo (masih keluarga). Pendirian Raden Ronggo Prawirodirjo III, lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda. Terjadi konflik batin dalam diri Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pangeran Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya menjalankan perintah ayahnya, Sultan Yogyakarta yang ditahan oleh Belanda. Apabila Pangeran Dipokusumo tewas, berarti Belanda amat senang karena duri yang berbahaya akan lenyap, keinginan Belanda menguasai Kraton Yogyakarta segera tercapai.

Dengan pertimbangan yang berat tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih mati dengan pusakanya sendiri, yaitu tombak sakti ”Kyai Blabar” dengan perang pura-pura/setengah hati melawan Pangeran Dipokusumo.

Menurut buku “Sekitar Yogyakarta, karangan Dr. Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :

Dalam Babad keturunan Prawirosentiko tertulis, bahwa Pangeran Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan menangkap Bupati Wedono Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati; atas permintaan sendiri beliau dibunuh dengan tombak pusaka Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura antara seorang melawan seorang. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III menemui ajalnya sebagai korban Daendels, Van Broom dan Danuredjo II.

Bupati Madiun merangkap Bupati Wedono Mancanegara Timur telah gugur sebagai kusuma bangsa tanggal 17 Desember 1810 di Desa Sekaran, Bojonegoro. Jenazahnya di bawa ke Istana Yogyakarta dengan upacara kebesaran. Beliau dimakamkan di makam Banyu sumurup, dekat komplek Makam Imogiri. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.

Untuk mengisi jabatan Bupati Madiun dan Wedono Mancanegara Timur maka diangkat sementara Pangeran Dipokusumo oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk mengisi jabatan tersebut, yang berkedudukan di Maospati, Madiun. Pengangkatan ini dengan pertimbangan atas jasa beliau. Sesuai adat dan tradisi kerajaan bahwa ahli waris Prawirodirjo III, khususnya putra sulung bernama Prawirodiningrat masih belum dewasa dan masih mendapat pendidikan di Yogyakarta, maka kedudukan Bupati Madiun untuk sementara waktu di pegang Pangeran Dipokusumo

Daerah yang di lalui Ronggo Prawirodirjo III setelah melarikan diri dari kasultanan Jogjakarta,

versi Peter Carey : 1.Prambanan 2.Klaten 3.Delanggu (21 November 1810) 4.Kartasura (22 November 1810) 5.Masaran * 6.Padas (24 November 1810) 7.Sragen * 8.Tarik (25 November 1810) 9.Jagaraga 10.Magetan (27 November 1810) 11.Maospati (28 November 1810) 12.Madiun 13.Sentul (3 Desember 1810) 14.Caruban (8 Desember 1810) 15.Tunggur (9 Desember 1810) 16.Berbek 17.Pace * 18.Nganjuk (10 Desember 1810) 19.Gabar 20.Kertasana (11 Desember 1810) 21.Munung (12 Desember 1810) 22.Pandhantoya 23.Cabean (14-16 Desember 1810) 24.Sekaran (16-17 Desember 1810)

= daerah yang dirusak/bakar pasukan Ronggo Prawirodirjo III

Kraton Maospati yang berbenteng dijarah pasukan Belanda dn kesultanan

PANGERAN DIPOKUSUMO menjabat dari tahun 1810-1822. Politik pemerintahanya masih melanjutkan politik Ronggo Prawirodirjo III dengan tunduk sepenuhnya pada Yogyakarta dan tidak menuruti sepenuhnya permintaan Belanda.

YOGYAKARTA SETELAH PERLAWANAN BUPATI MADIUN

Sejak terjadi pemberontakan Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo III terhadap Belanda, disekitar Istana Yogyakarta ditempatkan Pasukan Belanda yang kuat, bahkan setelah Raden Ronggo Prawirodirjo III Gugur, Pasukan Belanda menambah kekuatannya di sekitar Istana. Walaupun Sultan telah memenuhi keinginan Belanda untuk membasmi perlawanan Bupati Madiun, namun Belanda masih belum puas, tanggal 31 Desember 1810 Gubernur Jendral HW Daendels datang ke Istana Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II diturunkan dari tahta, dan mengangkat putra mahkota Pangeran Adipati Anom dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Sultan baru ini adalah ayah Pangeran Dipokusumo (Bupati Madiun pengganti Raden Ronggo Prawirodirjo III ), Sultan Hamengku Buwono II kemudian disebut Sultan sepuh tidak mempunyai kekuasaan lagi, hanya pada acara tertentu seperti Grebeg Siyam, grebeg Maulud, Grebeg Suro dan Upacara-upacara lainnya, hadir mendampingi Sultan Hamengku Buwono III.

Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notodiningrat, yang diserahkan ke Semarang oleh Hamengku Buwono II sebagai jaminan atas janji untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III, baru di kembalikan ke Istana Yogyakarta tanggal 16 Desember 1811, hal itu pun, karena ada perubahan politik dalam pemerintahan negeri Belanda (Perancis) yaitu, kekalahan Pemerintah Belanda dari Inggris, yang sebenarnya Belanda menginginkan kedua pangeran tersebut untuk di binasakan.

Tanggal 26 Agustus 1811, tentara Inggris yang di pimpin Lord Minto berpusat di India mengepung pusat pemerintahan Belanda di Batavia, Pusat pertahanan pasukan Belanda di Jatinegara jatuh. Gubernur Jendral J.W. Janssens (pengganti Daendels) yang semula Gubernur Kaap Kolonie ( Afrika Selatan) menghadapi nasib tragis. J.W. Janssens dan pasukan Belanda mundur ke Semarang, dengan harapan mendapat bantuan Kasultanan dan Kasunanan Mataram, namun tidak mendapat simpati. Kasultanan Yogyakarta termasuk Kabupaten Madiun, bahkan diam-diam membantu tentara Inggris, dengan harapan Belanda segera musnah dari wilayah Yogyakarta. Tanggal 18 September 1811 Belanda akhirnya menyatakan menyerah pada Jendral Auchmuty di Salatiga dengan syarat menanda tangani perjanjian ”Kapitulasi Tuntang” secara yurisdis semenjak itu Nusantara di kuasai Inggris.

Pergantian Pemerintahan Belanda ke tangan Inggris, dimanfaatkan oleh Sultan Sepuh untuk mengambil tahta Kasultanan Yogyakarta kembali, dari tangan Sultan Hamengku Buwono III. 23 September 1811 Sultan Sepuh mengembalikan Sultan menjadi Putra Mahkota kembali. Dalam masa peralihan tersebut dilakukan pembersihan di lingkungan Istana, Patih Danuredjo II di bunuh dan pejabat-pejabat yang pro Belanda dan Danuredjo II di tangkap dan dipenjara atau di bunuh.

Setelah Kapitulasi Tuntang, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaan di Nusantara kepada Pemerintah Britania Raya (Inggris) dengan Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Rafless.

Pada masa Pemerintahan Inggris ini, Sultan Hamengku Buwono II mengajak Kasunanan Surakarta untuk memulihkan hak-hak raja-raja Mataram, termasuk tata cara Upacara protokoler Istana serta berusaha mengadakan perlawanan kepada Pemerintah Inggris. Usaha-usaha perlawanan Sultan Hamengku Buwono II ini membuat Pemerintah Inggris tidak suka. Dengan di bantu Pangeran Notokusumo, tanggal 18-20 Juni 1812 Pasukan Inggris yang dipimpin Jendral Gillespie menyerbu Istana Yogyakarta dan terjadi pertempuran hebat, namun Pasukan Inggris berhasil menguasai Istana dan memaksa Hamengku Buwono II turun tahta , Kasultanan diserahkan kembali pada Sultan Hamengku Buwono III (putra mahkota), kemudian Oleh Rafless, Sultan sepuh (Hamengku Buwono II) di tangkap dan diasingkan ke Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon

Pada tanggal 1 Agustus 1812 Pemerintah Inggris memaksa Hamengku Buwono III untuk memenuhi keinginan Pemerintah Inggris , yaitu antara lain :

– Wilayah Kedu, sebagian Semarang, separuh Pacitan, Rembang, Japan, Jipang, Grobogan dan Surabaya menjadi milik Pemerintah Inggris yang diberi ganti kerugian sebesar 100.000 Real per tahun

– Kasultanan Yogyakarta tidak boleh mempunyai angkatan bersenjata yang kuat, kecuali hanya prajurit-prajurit keamanan Kraton

– Memberikan sebagian wilayah Kasultanan Yogyakarta kepada Pangeran Notokusumo, atas jasa beliau pada Pemerintah Inggris.

Tanggal 17 Maret 1813 Pemerintah Inggris mengangkat serta membangunkan Istana Pangeran Notokusumo sebagai Pangeran Merdiko di bawah Pemerintah Inggris dengan wilayah Kadipaten Paku Alaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Tahun 1815 kekuasaan Inggris di Nusantara diserahkan kembali ke Pemerintah Belanda

Tahun 1820, Bupati Madiun Pangeran Dipokusumo tidak aktif menjalankan roda pemerintahan dikarenakan sakit, maka sesuai tradisi jika penguasa berhalangan dibentuklah perwakilan atau badan perwakilan. Pada waktu itu Patih Raden Tumenggung Tirtoprodjo yang menjadi Pejabat Bupati Madiun. Penerus Trah Prawirodirjo yaitu Raden Ronggo Prawirodiningrat waktu itu belum cukup dewasa

MASA PERANG DIPONEGORO DI MADIUN

Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni RA Prawironegoro, RA Suryongalogo, RA Pangeran Diponegoro, RA Suryokusumo, Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi), Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri ( Bupati Madiun), RA Suronoto, RA Somoprawiro, RA Notodipuro, dan RA Prawirodilogo. Sedangkan dari ibu selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta.

Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang Jawa, atau Perang Diponegoro, rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Perang Besar ini disebabkan karena Bangsa Belanda selalu ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan penindasan, pemerasan yang tidak berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin menderita.

Pendukung Perang Diponegoro di Kabupaten Madiun, dan di seluruh wilayah Mataram, pada umumnya terdiri dari :

Rakyat Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak yang tinggi mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat kekalahan Perang pada era Napoleon )

Golongan Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa tanah yang hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda)

Ulama dan Santri : mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku kaki tangan Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.

Maka dengan munculnya seorang pemimpin yang berani melawan dominasi Belanda, mereka segera menyambut dengan semangat juang yang membara.

Perang Diponegoro berawal dari rencana Belanda membangun jalan Yogyakarta- Magelang melewati Muntilan, namun berbelok melintasi Makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro murka, dan meyuruh bawahannya untuk memcabut patok-patok yang telah dipasang Belanda.

Rabu, 20 Juli 1825, Perang meletus dengan adanya serangan mendadak tentara Belanda di rumah Pangeran Diponegoro dan pamannya Pangeran Magkubumi serta para pendukungnya di Tegalrejo.

Perang Diponegoro ini berlangsung 5 tahun, yaitu periode I, tahun 1825-1826. periode II, tahun 1827-1830.

Dari catatan Kapten Inf. P.J.F. Louw dan Kapten Inf. E.S. De Klerck menyatakan sebagai berikut :

Daerah Madiun dan sekitarnya yang ikut berperang adalah :

– Maospati

(tempat Bupati Wedono Madiun yang memegang komando tertinggi wilayah Mancanegara Timur )

– Wonorejo

– Kranggan atau Wonokerto

– Muneng dan Bagi

– Keniten (Ngawi)

– Magetan ( terdiri dari 3 kabupaten)

– Bangil (Ngawi)

– Purwodadi (Magetan)

– Gorang-gareng (terdiri dari 2 kabupaten)

– Ponorogo ( terdiri dari 6 kabupaten)

– Caruban

– Lorog ( Pacitan)

– Panggul (Pacitan)

Selain daerah Kabupaten tersebut diatas, masih ada yang kemungkinan bukan di bawah para Bupati, diantaranya Desa Perdikan, Desa Norowito, Desa Pangrambe, Desa Sentanan dan Desa Apana yaang terdapat di Pacitan, juga Domini-Domini Kerajaan.

Wonorejo adalah daerah penelitian Belanda yang selanjutnya untuk pertama kali orang-orang Belanda menetap disitu. Kranggan atau Wonokarto atau Tunggul, terletak di Madiun Bagian utara, dekat Kota Ngawi di kiri kanan sungai Madiun. Di sebelah tenggara Tunggul terletak di Kabupaten Muneng dengan Ibukota Muneng ( sekarang masih dikenal) di sebelah selatan Ngawi terdapat Kabupaten Keniten, berbatasan dengan Magetan dengan batas alam sungai Jungki. Purwodadi merupakan Kabupaten termuda dengan lokasi di sebelah selatan Keniten, termasuk wilayah Kabupaten Magetan sekarang. Maospati saat itu merupakan tempat bersemayam Bupati Wedono sebagai komando tertinggi untuk wilayah Mancanegara Timur.

Pada waktu permulaan perang , bupati di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah sebagai berikut :

– Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo ( saudara sepupu Pangeran Diponegoro ), Bupati Kepala I di Wonorejo Madiun.

– Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul

– Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten

– Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati

– Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng

– Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagi

– Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi

Dukungan Bupati Wedono Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat, masih diragukan oleh Pangeran Diponegoro, karena beliau walaupun anti Belanda namun masih setia pada Sultan Yogyakarta. Usia Ronggo Prawirodiningrat waktu itu baru 21 tahun, maka dalam menjabat Bupati Wedono, beliau masih di dampingi oleh beberapa Bupati yang sebagian besar ikut berperang mendukung Pangeran Diponegoro.

Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun terdiri dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Tumenggung Mangunprawiro, putra Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro.

Raden Tumenggung Mangunprawiro menggantikan kedudukan sebagai Bupati dan Panglima perang, walaupun secara yuridis adiknya bernama Raden Tumenggung Yudodipuro yang menjadi Bupati Purwodadi kemudian.

Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.

Catatan harian, Letnan Jendral De Kock, tanggal 8 Agustus 1825, berdasar laporan spionase, bahwa Kabupaten Madiun, Caruban dan Magetan sudah mengumpulkan pasukan terpilih lengkap dengan berbagai senjata tempur di bawah Panglima Mas Kartodirdjo dan akhir Agustus 1825, tujuh Bupati wilayah Kasunanan Surakarta mulai tidak setia pada Belanda.

Van Lewick, Residen Rembang staf diplomatik Belanda pada Bulan November 1825 berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan mengundang bupati-bupati di wilayah Madiun, yaitu: Madiun,Maospati, Magetan, Muneng dan Gorang-Gareng dengan iming-iming tertentu, diharap semua Bupati tidak membantu Perang Diponegoro dan mengakui pemerintahan Hindia Belanda. Usaha Van lewick ini gagal karena mereka tetap menghormati sikap Bupati Wedono Madiun.

Setelah usahanya gagal, Van Lewick mengirim satu detasemen tentara dibawah Kapten Infanter Theunissen dan diperkuat lagi dengan berbagai satuan lapangan dari Surabaya.

Sumber-sumber

↑ http://satriomediun.wordpress.com/2010/07/23/sejarah-perjuangan-rakyat-madiun/ –

Check Also

Kemeriahan Kirab Budaya Bupati Gading Djoyonegoro

  SeputarKita, Ponorogo – Puluhan warga masyarakat tumplek blek memadati sepanjang jalan menyaksikan Kirab Budaya …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *