Seputarkita,JOMBANG — Gedung Polres Jombang memang tampak representatif, namun kesan itu terasa kontras dengan kinerja penegakan hukum dan transparansi yang dipertanyakan publik dalam menyikapi kasus dugaan korupsi Dana Desa (DD) yang telah berusia satu dekade. Penanganan kasus lama yang kembali mencuat ini justru menyoroti kelemahan institusi kepolisian dalam memenuhi hak masyarakat atas informasi dan kepastian hukum.
*Tanda Tanya Besar di Balik Jawaban “Sudah Lama”*
Dugaan kasus korupsi Dana Desa yang kembali mencuat setelah sepuluh tahun seharusnya menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk menunjukkan akuntabilitas. Sayangnya, upaya konfirmasi justru menuai respons yang minim.
Terduga berinisial MN memilih jawaban singkat, _”Itu kan kasusnya sudah lama pak, 10 tahun yang lalu, ya gak usah lah pak… Oh ya ya sampun, itu aja wes,”_ saat ditemui media di usai rapat paripurna DPRD, Senin (6/10/2025) siang. Jawaban ini secara implisit menimbulkan kecurigaan publik: apakah durasi kasus menjadi alasan untuk mengabaikan proses hukumnya?
Ironisnya, MN yang sempat terlibat dalam berkas perkara P19 ini dilaporkan lolos verifikasi administrasi sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) DPRD Jombang pada Pemilu 2024. Hal ini semakin memperkuat urgensi transparansi kepolisian. Mengapa status hukum perkara tersebut tidak menjadi penghalang dalam proses verifikasi publik?
*Hambatan Informasi: Kepolisian Terkesan Tertutup*
Kritik utama diarahkan pada Satreskrim Polres Jombang yang hingga berita ini diturunkan belum memberikan pernyataan resmi mengenai posisi hukum kasus dugaan korupsi DD tersebut. Upaya konfirmasi media terbentur tembok birokrasi, dengan staf Satreskrim beralasan Kasat Reskrim AKP Margono tidak dapat ditemui tanpa janji resmi.
> “Mohon maaf, untuk saat ini Bapak Kasat belum bisa ditemui. Kami tidak berwenang memberikan keterangan,” Singkat staf Satreskrim.
Sikap tertutup ini patut disayangkan, mengingat salah satu tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah menegakkan hukum dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Lebih dari itu, transparansi proses penegakan hukum adalah kewajiban badan publik. Sesuai Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), setiap orang berhak memperoleh dan mengetahui Informasi Publik.
Meskipun terdapat pengecualian (seperti informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum dalam Pasal 17 UU KIP), status kelanjutan sebuah perkara yang telah lama disidik, apakah berjalan, dihentikan (SP3), atau mandek, adalah informasi yang esensial bagi publik untuk menjamin pengawasan dan akuntabilitas.
Masyarakat Jombang berhak mengetahui, apakah kasus korupsi ini masih berjalan atau telah “menguap” tanpa kejelasan hukum. Keengganan Polres Jombang memberikan keterangan resmi justru merusak citra “PRESISI” yang diusung institusi kepolisian dan mencederai semangat antikorupsi yang digaungkan. Publik menunggu kejelasan dan tindakan nyata, bukan sekadar jawaban singkat atau alasan birokrasi yang mengaburkan keadilan.(WD)