SeputarKita, Magetan – Dari kaki Gunung Lawu, suara dukungan bagi kemerdekaan Palestina kembali bergema. Persaudaraan Umat Islam untuk Palestina (PUIP) Kabupaten Magetan menyerukan gerakan global yang sistematis dan terarah, agar perjuangan pembebasan Palestina tidak berhenti pada seruan emosional semata, melainkan menjadi gerakan nyata yang strategis dan berkelanjutan.
Dalam forum bertajuk “Solidaritas Umat untuk Palestina” yang dihadiri ratusan peserta lintas ormas, pesantren, dan tokoh masyarakat, Gus Imam — penggerak utama PUIP Magetan — menegaskan bahwa perjuangan untuk Palestina bukan hanya urusan politik luar negeri, melainkan tanggung jawab nurani seluruh umat Islam. “Ini bukan sekadar seruan emosional. Kita ingin umat Islam bergerak dalam sistem dan skema yang jelas,” tegasnya.
PUIP Magetan memaparkan lima rekomendasi strategis yang disebut sebagai peta jalan menuju kemerdekaan Palestina. Pertama, pengorganisasian umat Islam secara global dan tekanan politik internasional. Negara-negara Muslim seperti anggota OKI, Liga Arab, dan ASEAN didorong untuk mengeluarkan resolusi bersama mengutuk agresi Israel serta menuntut pembentukan negara Palestina merdeka. Indonesia, kata Gus Imam, harus tampil sebagai pionir diplomasi dunia Islam dan memimpin tekanan terhadap Israel melalui PBB, ICJ, dan ICC.
Kedua, mobilisasi umat Islam Indonesia secara sistematis. PUIP menyerukan agar kesadaran publik tentang hak-hak rakyat Palestina ditanamkan melalui masjid, pesantren, dan media dakwah. Gerakan unjuk rasa damai di berbagai kota juga diusulkan sebagai simbol persatuan suara umat. Tak kalah penting, PUIP menekankan pentingnya gerakan donasi berkelanjutan yang dikelola lembaga umat secara transparan.
Ketiga, boikot ekonomi nasional terhadap produk dan perusahaan pendukung Israel. PUIP mendorong penerbitan daftar resmi merek dan perusahaan yang terbukti mendukung kebijakan Israel. Gerakan boikot ini diharapkan melibatkan MUI, ormas Islam, hingga Kementerian Perdagangan dan BUMN. Gus Imam menegaskan, boikot bukan sekadar simbol protes, melainkan senjata ekonomi yang efektif. “Kita bisa memukul dengan uang kita — jangan beli produk mereka!” ujarnya. Menurutnya, di beberapa negara Eropa, gerakan boikot telah menyebabkan kerugian miliaran dolar bagi perusahaan pendukung Israel.
Keempat, dukungan ekonomi dan kemanusiaan berkelanjutan. PUIP mengusulkan pembentukan lembaga nasional seperti Badan Wakaf dan Dana Palestina untuk menyalurkan bantuan pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan di Gaza dan Tepi Barat. Lembaga ini juga diharapkan menjadi penghubung kerja sama ekonomi antara pelaku usaha mikro Indonesia dan komunitas Palestina, termasuk dalam pemasaran produk dan pengembangan ekonomi rakyat.
Kelima, diplomasi rakyat (people’s diplomacy) internasional. Indonesia didorong mengirim relawan — dokter, guru, insinyur, dan jurnalis — untuk terlibat langsung di wilayah terdampak konflik. PUIP juga menyerukan penyelenggaraan konferensi internasional di Indonesia yang melibatkan aktivis global, akademisi, dan media, guna memperkuat opini dunia tentang hak-hak kemerdekaan Palestina. Di samping itu, kampanye digital internasional seperti video dokumenter dan laporan lapangan harus diperbanyak agar suara Palestina terus menggema di panggung global.
Gus Imam menilai, politik tanpa tekanan rakyat akan tetap lemah. Menurutnya, umat Islam harus menjadi kekuatan moral dan sosial yang mampu menekan sistem politik dan ekonomi global. “Diamnya dunia sama saja merestui pembantaian,” ujarnya lantang. Ia juga mengingatkan bahwa kekuatan ekonomi umat adalah senjata modern yang tak kalah tajam dari senjata perang.
Lebih jauh, Gus Imam menyebut Palestina bukan sekadar tanah suci, melainkan simbol kehormatan umat Islam di seluruh dunia. “Jika kita diam saat kehormatan itu diinjak, maka kita kehilangan jati diri sebagai umat yang satu tubuh. Saatnya bangkit, bersatu, dan berjuang bersama,” tegasnya.
Dari Magetan yang sejuk, suara itu mengguncang langit hati setiap insan. Palestina kini bukan sekadar berita — ia adalah tangisan anak-anak yang kehilangan orang tuanya, jeritan ibu yang mendekap jenazah anaknya di bawah reruntuhan, dan doa seorang ayah yang menggali tanah dengan tangan telanjang demi memakamkan keluarganya. Setiap bom yang jatuh di Gaza adalah luka di dada umat manusia, dan setiap diam yang kita biarkan adalah bagian dari kejahatan itu sendiri. Saat dunia menutup mata, kita dipanggil untuk membuka hati; saat yang lain berhitung untung-rugi, kita diperintahkan untuk menegakkan kemanusiaan.
Dengan mata berkaca-kaca, Gus Imam menutup pernyataannya penuh haru, “Jangan biarkan air mata Palestina mengering tanpa arti. Karena di balik setiap tetes darah mereka, ada ujian bagi kemanusiaan kita. Jika hati kita masih hidup, maka kita akan berdiri bersama mereka. Sebab pembebasan Palestina — sesungguhnya — adalah pembebasan nurani kita sendiri,” pungkasnya. (red)