Oleh : Gus Imam (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)
Di tengah kilatan petir dan gemuruh hujan yang terus mendera, nurani bangsa seakan makin tersesat dalam labirin ambisi dan keserakahan, terungkaplah sebuah kenyataan tragis oleh PPATK yang mengungkap perputaran uang dalam perjudian online telah mencapai angka fantastis Rp 283 triliun dengan angka deposit Rp 43 trilliun. Angka ini bukan sekadar statistik ekonomi, melainkan representasi nyata dari kehancuran moral kolektif yang kian menggerogoti akar jati diri bangsa. Pertanyaannya menggema seperti nyanyian pilu di tengah badai: Quo vadis Indonesia? Ke mana arah bangsa ini jika akal budi tunduk pada hasrat duniawi, dan nilai-nilai luhur hanya menjadi bayangan samar dalam sejarah yang perlahan dilupakan?
Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk berhala), dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90). Ayat ini bukan sekadar peringatan, melainkan perisai yang dirancang untuk melindungi manusia dari kehancuran diri dan masyarakat. Namun kini, perjudian telah menjadi candu, menyusup melalui layar-layar digital, menggoda dengan ilusi kekayaan instan, dan merampas akal sehat berjuta-juta manusia.
Dalam pusaran perjudian online, moralitas tidak lagi menjadi poros, melainkan korban. Uang menjadi tuhan baru, sementara kerja keras, kejujuran, dan keberkahan telah digeser oleh tipu daya dan keserakahan. Imam Al-Ghazali pernah berujar dalam Ihya’ Ulumuddin, “Kejahatan terbesar bagi manusia adalah ketika dunia menguasai hatinya, hingga ia lupa bahwa dunia adalah tempat persinggahan, bukan tujuan.” Perjudian, dalam segala bentuknya, adalah manifestasi dari penguasaan dunia atas jiwa manusia yang kehilangan arah.
Ironisnya, kehancuran moral ini tidak berdiri sendiri. Ia dipelihara oleh sistem yang mengabaikan tanggung jawab terhadap rakyat. Di saat negeri ini berjibaku dengan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial, angka Rp 283 triliun yang berputar dalam perjudian adalah tamparan keras bagi nurani bangsa. Bagaimana kita bisa berbicara tentang keadilan sosial, sementara kekayaan mengalir ke arah yang merusak? Betapa benarlah ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Kerusakan yang paling besar adalah ketika orang-orang berkuasa hanya peduli pada kekayaan duniawi, dan melupakan amanah mereka terhadap rakyat.”
Perjudian online telah menjadikan setiap rumah berpotensi menjadi tempat permainan setan. Tidak perlu kasino megah; cukup dengan ponsel, setiap individu dapat terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Masalahnya bukan hanya pada mereka yang terlibat langsung, tetapi juga pada generasi muda yang diracuni oleh pandangan bahwa keberhasilan dapat diraih tanpa usaha. Kehilangan nilai ini menjadi luka terdalam yang merusak tatanan sosial kita. Jika generasi muda adalah cerminan masa depan bangsa, maka apa yang kita lihat hari ini adalah refleksi masa depan yang penuh dengan kehampaan spiritual.
Masih ingatkah kita pada sabda Rasulullah ﷺ, “Barang siapa yang memulai kebiasaan baik dalam Islam, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Namun barang siapa yang memulai kebiasaan buruk, maka ia akan memikul dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim). Dengan demikian, setiap langkah yang memperparah budaya perjudian bukan hanya mencelakakan diri, tetapi juga membuka pintu kehancuran bagi banyak jiwa lainnya.
Namun, semua ini tidak akan berarti jika hanya diresapi dengan kepedihan tanpa langkah perubahan. Indonesia tidak akan terselamatkan dengan sekadar ratapan, tetapi dengan tindakan nyata yang berakar pada moralitas, spiritualitas, dan keadilan. Para pemimpin harus kembali mengingat bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat memperkaya diri. Masyarakat harus diberdayakan dengan pendidikan yang tidak hanya mengasah kecerdasan, tetapi juga membangun karakter. Ulama dan intelektual harus berdiri di garda terdepan, membawa dakwah yang menggetarkan hati dan membangkitkan jiwa.
Untuk memutus lingkaran setan ini, kita perlu pendekatan menyeluruh. Pendidikan agama harus menjadi pondasi utama, mengingatkan generasi muda bahwa kehidupan adalah ujian, bukan permainan. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al-An’am: 32). Ayat ini menjadi pelita yang menuntun kita agar tidak terjebak dalam jebakan dunia yang fana.
Pemerintah, sebagai pengayom rakyat, harus bertindak tegas. Tidak cukup hanya dengan menutup situs perjudian; perlu ada langkah preventif melalui regulasi, pengawasan, dan kampanye kesadaran yang masif. Teknologi yang digunakan untuk menghancurkan moralitas bangsa harus dibalikkan fungsinya untuk membangun kesadaran kolektif. Selain itu, penegakan hukum tidak boleh pandang bulu. Siapa pun yang terlibat dalam bisnis perjudian, dari pelaku hingga fasilitator, harus dihukum setimpal.
Namun, perjuangan ini tidak hanya tugas pemerintah. Setiap individu harus mengambil peran aktif. Keluarga, sebagai institusi terkecil, memiliki tanggung jawab besar dalam membangun benteng moral. Orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak mereka, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam kemewahan duniawi, tetapi dalam ketenangan hati yang lahir dari ketaatan kepada Allah.
Perjudian bukanlah sekadar masalah ekonomi, tetapi simbol dari krisis spiritual yang mengancam eksistensi bangsa. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba di hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, ilmunya untuk apa digunakan, hartanya dari mana didapat dan untuk apa dibelanjakan, serta tubuhnya untuk apa ia pergunakan.” (HR. Tirmidzi). Ayat dan hadis ini seharusnya menjadi alarm bagi setiap individu, bahwa segala yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban.
Wahai Indonesia, bangkitlah dari kejatuhan ini. Jangan biarkan moral bangsa menjadi debu di bawah kaki industri perjudian yang rakus. Mari kita ubah arah, bukan dengan kebencian, tetapi dengan cinta yang tulus kepada negeri ini. Quo vadis Indonesia? Jawabannya ada pada kita semua. Jika kita memilih jalan moral, spiritualitas, dan keadilan, maka masa depan bangsa akan kembali cerah. Jika tidak, maka kehancuran akan menjadi warisan yang kita tinggalkan.
Pilihlah dengan hati yang sadar dan jiwa yang bersih. Mari kita wujudkan Indonesia yang bermartabat, bebas dari belenggu perjudian, dan kembali kepada fitrah sebagai bangsa yang religius, beradab, dan berakhlak mulia. Sebagaimana doa Nabi Ibrahim, “Ya Allah, jadikanlah aku dan keturunanku orang-orang yang mendirikan salat. Ya Tuhan kami, kabulkanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40). Jadilah cahaya bagi masa depan bangsa, karena perubahan besar selalu dimulai dari satu langkah kecil yang dilandasi keikhlasan. Kini waktunya memilih, apakah kita menjadi pelopor perbaikan atau saksi kehancuran?