SeputarKita, Magetan – Resah melihat kejanggalan pada persidangan pelanggaran Prosedur Kesehatan (Prokres) Habib Rizieq Syihab (HRS), Gerakan Ummat Islam Bersatu Kabupaten Magetan (GUIB) mendatangi Kejaksaan Negeri (Kejari) Magetan untuk menyampaikan aspirasi.
“Tujuan perwakilan GUIB datang ke kantor Kejari untuk menyampaikan agar ulama’ jangan diperlakukan kasar, dan menuntut agar HRS dibebaskan,” ujar Ketua GUIB Magetan, Gus Imam kepada wartawan usai beraudiesi bersama Kajari, Jum’at (26/03/2021).
Gus Imam menjelaskan, kedatangannya ke kantor Kejari dalam rangka mendorong institusi adhiyaksa yang sedang bersidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur (Jaktim) dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh kejujuran dan keadilan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Gus Imam menyatakan bahwa dirinya dan elemen ummat Islam magetan tidak akan pernah diam ketika ada kedzaliman dan ketidakadilan dalam proses peradilan HRS.
“Contohnya saja, Pasal 160 KUHP yang didakwakan kepada HRS oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Bukankan itu adalah pasal yang seharusnya hanya diterapkan pada peristiwa kejahatan. Sementara pelanggaran protokol kesehatan, jelas bukan tindak kejaatan tapi hanya unsur pelanggaran saja. Kalau yang seperti ini terus diipaksakan, kami sebagai elemen perjuangan ummat tentunya tidak akan diam,” jelasnya
Dalam sidang pembacaan dakwaan, Jaksa mendakwa HRS telah menghasut masyarakat melakukan kerumunan dengan meminta hadir dalam acara maulid Nabi dan pernikahan putrinya pada November 2020 lalu. Sementara, pada waktu yang bersamaan, Pemprov DKI sedang melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Gus Imam memaparkan bahwa Pasal 160 KUHP pada intinya adalah dakwaan terhadap tindakan provokasi atau menggerakkan orang untuk berbuat jahat. Menurut dia, penegak hukum harus membuktikan terlebih dulu kejahatan yang disangkakan itu.Ia mempertanyakan keterkaitan pemeriksaan kasus kerumunan massa dengan pasal penghasutan tersebut. Sebab, menurutnya, tidak ada unsur kejahatan dari ajakan tersebut.
“Saat terjadi kerumunan massa di lokasi peringatan Maulid, di mana letak HRS memprovokasi jamaahnya untuk berbuat jahat, dimana HRS melakukan perbuatan pidana, coba buktikan,” tukasnya.
Gus Imam memandang bahwa pihak penegak hukum telah memaksakan kehendak untuk menjerat Rizieq Shihab. Menurutnya, kasus kerumunan massa itu hanya menyangkut Pasal 93 Undang-undang Kekarantinaan. Dan dalam perkara itu, pihak HRS telah membayar denda kepada Pemprov DKI Jakarta.
“Kalau sudah dibayar denda, mestinya perkara itu sudah selesai. Kalau masih diproses lagi, namanya dalam bahasa yang disampaikan para pakar hukum “ne bis in idem”. Artinya, satu perkara yang sudah selesai akan tetapi diproses kembali, dan ini artinya secara teori, seluruh dakwaan dan proses pengadilan terhadap HRS harus batal demi hukum,” ujarnya
Gus Imam menambahkan bahwa PN Jaktim seharusnya tidak bisa menggelar persidangan terhadap HRS. Menurutnya hal itu melanggar kompetensi relatif pengadilan yang hanya memiliki wewenang mengadili suatu perkara sesuai wilayah hukumnya.
“Iya nggak bisa, itu locus delicti. Kalau perkara yang di Petamburan seharusnya sidang di PN Jakpus, kalau yang di Megamendung harusnya PN Bogor,” ungkapnya.
GUIB mencium aroma politis dalam peristiwa penangkapan dan pengadilan HRS bahkan kasus tersebut cenderung dipaksakan.
“Melihat dakwaan dan dinamisasi persidangan, wajar kalau kami menilai dalam proses hukum yang menimpa HRS ini, lebih mengarah kepada nuansa politik, dan penuh dengan nuansa non-hukum yang harusnya tidak boleh ada dalam proses penegakkan hukum. Sudah seyogyanya hukum bersih dari pengaruh dan tekanan politik. Dan bagaimanapun nanti bukti yang akan berbicara. Karena bicara hukum adalah bicara bukti. Barang siapa menuduh harus membuktikan,” lanjutnya.
Gus imam menuntut, seharusnya HRS diperlakukan sebagaimana mestinya, seperti masyarakat lainnya. Apalagi beliau adalah seorang Ulama yang banyak jamaahnya.Gus imam memandang, sejauh ini proses hukum yang dialami oleh HRS belum menggunakan prinsip equality before the law atau persamaan perlakuan di depan hukum.
“Kita sepakat bahwa Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945.Maka pemaksaan pemeriksaan terhadap terdakwa dengan sistem online dalam persidangan berpotensi untuk mengurangi hak-haknya. Tentu ini bisa menjadi preseden yang tidak baik, karena terlihat seolah-olah ada diskriminasi. Di mana seorang terdakwa ingin sekali bersidang offline namun jaksa tidak menghendaki. Mestinya Komisi Yudisial (KY) dan Komnas HAM juga memberi perhatian terhadap persoalan ini,” tuntutnya.
Kepala Kejaksaan Negeri Magetan, Ely Rahmawati, S.H.,M.H.,M.M didampingi para Kasi menerima audiensi dari GUIB Magetan yang berjumlah 6 (enam) orang di Aula Kejaksaan Negeri Magetan mulai pukul 09.45 sampai 10.15 WIB.
Sebelum masuk ke dalam ruangan semua perwakilan GUIB diminta mencuci tangan, dilakukan pengecekan suhu tubuh, dan dianjurkan tetap memakai masker dalam rangka mematuhi protokol kesehatan pencegahan covid-19.
Kajari menyambut hangat Perwakilan GUIB, dan meminta agar elemen ummat Islam sebagai bagian masyarakat Magetan secara umum, ikut mendukung pelaksanan tugas dan fungsi kejaksaan untuk menegakkan kejujuran dan keadilan.
“Kami mohon dukungannya, meskipun kami tidak bisa menanggapi secara langsung apa yang disampaikan oleh perwakilan GUIB, kami akan menyampaikan aspirasi ini kepada Kajati. Nanti Kejaksaan Tinggi yang akan menindak lanjuti ke pusat. Dan insyaAllah apa yang sudah disampaikan akan langsung kami kirim hari ini juga ke Surabaya,” pungkasnya. (red)