SeputarKita, Magetan – Panglima Gerakan Rakyat Anti Komunis (GERAK) Kabupaten Magetan, Gus Imam mencurigai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) sebagai sebagai alat legitimasi bagi kebangkitan Partai Komunis Indonesia. “Sebaiknya Presiden segera mencabut Keppres 17 / 2022 itu, supaya tidak menimbulkan gejolak baru,” ujarnya usai napak tilas lokasi kekejaman PKI di Magetan Selasa, 27/09/2022.
Gus Imam dengan keras menolak apabila negara bermaksud meminta maaf terhadap PKI yang telah nyata melakukan pemberontakan dan menyebarkan paham Komunisme yang bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila melalui Keppres 17 / 2022 tersebut. “Apalagi kalau sampai Pemerintah merehabilitasi hak-hak politik, dan memberikan kompensasi pengganti sosial, ini akan sangat menyakiti hati para pejuang merah putih dari kalangan para Ulama dan Kaum Muslimin yang sangat ingin faham komunis dan antek-anteknya sirna dari negeri ini,”ungkapnya.
Gus Imam menyebut ada beberapa alasan mengapa dirinya melihat ada aroma yang sangat kuat antara Kepres 17 / 2022 dengan kebangkitan kaum kiri tersebut, diantaranya : Pertama, setelah runtuhnya 32 tahun kepemimpinan Soeharto, upaya untuk merehabilitasi PKI sudah terendus aroma busuknya dengan adanya rencana mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Padahal, sudah menjadi pengetahuan masyarakat luas bahwa TAP MPRS tersebut lahir sebagai upaya mengingatkan pentingnya ideologi Pancasila yang pernah hendak diganti dengan ideologi komunisme. Meskipun akhirnya rencana ini gagal. Kedua, adanya kecurigaan terhadap pidato Menteri Dalam Negeri terkait paham atheisme, komunisme, leninisme dan marxisme, yang seolah-olah membuktikan bahwa komunisme sudah masuk ke dalam istana, beberapa waktu lalu.
Ketiga, video viral Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang menyatakan anak-anak PKI boleh menjadi TNI. Keempat, diamnya Pemerintah dikala masyarakat luas menginginkan pencabutan terbitnya buku-buku yang berbau komunis, antara lain buku Aku bangga menjadi anak PKI, dan lainnya. Yang ini membentuk persepsi sebagian masyarakat bahwa telah terjadi pembiaran pemerintah terhadap potensi lahirnya kembali paham komunis di Indonesia. Kelima, adanya teror berupa penganiayaan terhadap sejumlah ulama, ustadz, penceramah, dan pengurus masjid, serta perusakan masjid. Berbagai teror tersebut setelah ditangani aparat hampir semua berakhir dengan modus kesimpulan yang sama: pelakukanya orang gila dan semacamnya. Teror ini dapat saja dinilai sebagai sinyal bangkitnya kembali PKI di Indonesia.
Gus Imam menegaskan sejarah telah mencatat kebengisan dan kebiadaban PKI yang telah membunuh secara sadis para ulama, tantara, dan aktivis Islam di Madiun tahun 1948. PKI juga telah membunuh tujuh jenderal di tahun 1965, yang sampai-sampai saat ini masih dikenang dan dipandang sebagai perbuatan yang kejam dan biadab. “Untuk itu kami menuntut agar Pemerintah dapat bersikap tegas dalam mencegah kebangkitan PKI dan penyebaran paham Komunisme, serta melakukan penegakan hukum bagi mereka yang berupaya menghidupkan kembali PKI dan menyebarkan paham Komunisme dan paham sejenis yang menebar kebencian kepada agama sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 serta KUHP pasal 107a, pasal 107b, pasal 107c, pasal 107d dan pasal 107e,”tegasnya.
Gus Imam menduga bahwa komposisi tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu (PPHAM) diisi oleh orang yang diduga memiliki rekam jejak pelanggaran HAM. Penunjukkan ini menurutnya tidak hanya bertententangan dengan standar dan mekanisme HAM tapi juga menyerang akal dan menyakiti serta mempermainkan perasaan seluruh korban dan keluarga korban. “Kami menilai, Keppres No. 17 Tahun 2022 itu bisaj jadi merupakan instrumen pembungkaman yang ditujukan untuk menghambat aspirasi korban dan publik menggunakan janji-janji rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya. Desain Keppres ini bukanlah cara yang diajarkan dalam disiplin hukum hak asasi manusia atau praktik internasional terkait keadilan transisi (transitional justice) atas pelanggaran HAM masa lalu,” ujarnya.
Di akhir pembicaraannya Gus Imam menyerukan kepada Umat Islam dan masyarakat Indonesia secara umum agar terus memasang alarm kewaspadaan dari segala bentuk upaya membangkitkan kembali PKI dan penyebaran paham Komunisme, Lenininme dan Marxisme. “Mari kita hidupkan kembali kegiatan nonton bareng (NOBAR) Film Pemberontakan G 30 S/PKI sebagai upaya mengingatkan kembali atas bahaya laten Komunisme,” pungkasnya. (red)