Site icon Media Seputar Kita

ASN MENDADAK SANTRI: MAGETAN DAN WARNA BARU DI HARI SANTRI 2025

Oleh : KH. Muhammad Imaamul Muslimin, SPd, MM (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)

 

Rabu, 22 Oktober 2025, kantor-kantor pemerintahan di Magetan menampilkan wajah yang berbeda dari biasanya. Aparatur Sipil Negara (ASN) mengenakan sarung, peci hitam, dan busana muslim putih, mengubah wibawa formal birokrasi menjadi lebih hangat dan sederhana. Langkah-langkah yang biasanya kaku kini dipenuhi kesadaran akan makna Hari Santri Nasional, yang lebih dari sekadar seremoni rutin.

Fenomena ini di Magetan bukan sekadar formalitas. Sarung dan busana ala santri menjadi simbol penghormatan terhadap jasa para santri yang membangun karakter bangsa dan meneguhkan kemerdekaan. Apel pagi di Alun Alun Kabupaten, Kantor Dinas Instansi dan Kantor Kemenag Magetan diwarnai doa bersama, senyum hangat, dan langkah-langkah yang menegaskan bahwa tradisi pesantren dapat menyatu dengan profesionalisme birokrasi.

Secara filosofis, sarung bukan sekadar kain yang menutup kaki. Dalam tradisi pesantren, sarung adalah simbol kesederhanaan, kerendahan hati, dan pengendalian diri. Ia menjadi pengingat bahwa segala pengabdian, termasuk dalam birokrasi, harus dilandasi niat yang tulus, etika yang bersih, dan kesadaran spiritual. Filosofi sarung mengajarkan bahwa penampilan lahiriah adalah cerminan hati yang bersih, sekaligus medium dzauq — rasa dan pengalaman batin yang menenangkan qalbu.

Sejarah sarungan di Nusantara sendiri panjang dan kaya. Sarung telah menjadi pakaian sehari-hari masyarakat Indonesia sejak abad ke-16, terutama di Jawa, Madura, dan Sulawesi. Dalam konteks pesantren, sarung menjadi pakaian utama santri, memudahkan pergerakan, sederhana, dan simbol pengabdian. Lebih dari sekadar kain, sarung adalah media pendidikan karakter, sarana mendisiplinkan diri, dan pengingat akan nilai-nilai spiritual yang diwariskan oleh para ulama dan pendiri pesantren.

Mengenakan sarung juga memiliki makna mendalam yang menghubungkan pemakainya dengan tradisi keagamaan yang lebih luas. Dalam konteks Islam, sarung adalah bentuk izzar — pakaian yang dipakai Nabi ﷺ, yang menutupi tubuh dengan sederhana dan layak. Izzar melambangkan kesederhanaan, kesopanan, dan ketenangan hati. Dengan mengenakan sarung, ASN seolah menapaki jejak spiritual yang sama, menegaskan bahwa pengabdian publik harus berpijak pada nilai moral dan spiritual.

Kutipan tasawuf yang relevan dengan momen ini tetap menjadi refleksi yang pas: “At-tazkiyah tuhibbu al-qalb wa turqi al-rūh” – Penyucian jiwa menyejukkan hati dan menapaki jalan ruhani. Mengenakan pakaian ala santri bukan sekadar menutup tubuh, tetapi meneguhkan niat ASN untuk menapaki jalur spiritual, etika kerja, dan pengabdian yang bersih.

Instruksi ini berangkat dari Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor SE.04 Tahun 2025 tentang Panduan Pelaksanaan Peringatan Hari Santri 2025, yang mendorong ASN mengenakan sarung, peci, dan busana muslim putih. Panduan simbolik ini tidak memberatkan, namun cukup menegaskan identitas santri dan kesederhanaan.

Lebih spesifik, Pemerintah Kabupaten Magetan melalui Surat Edaran Bupati Magetan Nomor 400.14.1.1/8/403.012/2025 telah menginstruksikan seluruh ASN di lingkungan Pemkab Magetan untuk mengenakan pakaian ala santri pada Hari Santri Nasional yang jatuh pada Rabu, 22 Oktober 2025. Dalam surat edaran tersebut, ASN laki-laki diwajibkan mengenakan sarung hitam, atasan putih, dan peci hitam, sementara ASN perempuan diminta mengenakan pakaian muslimah yang sesuai. Instruksi ini bertujuan untuk menyemarakkan peringatan HSN dan menghormati peran para santri dalam perjuangan kemerdekaan serta kontribusinya terhadap bangsa dan negara.

Selain itu, Pemkab Magetan juga mendorong pelaksanaan kegiatan seperti dzikir, sholawat, munajat, doa, dan penanaman pohon sebagai bagian dari rangkaian peringatan HSN 2025. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat memperkuat semangat kebersamaan dan nasionalisme di kalangan ASN dan masyarakat Magetan.

Fenomena serupa juga berlangsung di berbagai daerah lain secara serentak. Dari Banyuwangi hingga Banjarnegara, Ponorogo, Pacitan, hingga Karawang, ASN mengenakan sarung dan busana ala santri sesuai arahan. Setiap daerah menjalankan ritme dan karakter lokalnya masing-masing, menegaskan bahwa peringatan HSN dilaksanakan secara serentak dengan nuansa berbeda namun tetap menjaga kesadaran budaya dan spiritual.

Selain apel dan doa, beberapa kantor menambahkan kegiatan sosial ringan seperti pengajian singkat dan dzikir bersama. Semua ini menegaskan bahwa HSN bukan sekadar seremoni, tetapi kesempatan untuk menanam nilai religius, kebersamaan, dan pengabdian tulus. Kantor yang biasanya formal dan kaku berubah menjadi ruang yang lebih akrab, di mana kesadaran kolektif terhadap sejarah, budaya, dan spiritualitas muncul secara alami.

Makna mengenakan sarung di momen ini tidak berhenti pada simbol atau tradisi. Ia menjadi medium pengingat bahwa birokrasi yang sehat bukan hanya diukur dari angka, dokumen, dan rapat resmi, tetapi juga dari kualitas niat, kesadaran moral, dan kesederhanaan hati. Sarung, sebagai izzar, menghubungkan pemakainya dengan jejak spiritual Nabi ﷺ, mengingatkan bahwa pengabdian publik harus berpijak pada akhlak mulia, kesederhanaan, dan keharmonisan dengan budaya lokal.

Hari itu, 22 Oktober 2025, Magetan tampil sebagai titik fokus pelaksanaan yang rapi dan harmonis, tanpa harus menjadi inspirator nasional. Dari langit birokrasi yang biasanya kaku, muncul warna sederhana, hangat, dan menyejukkan hati, menegaskan bahwa profesionalisme dan kesadaran budaya bisa berjalan berdampingan. Sarung menjadi medium yang menyatukan masa lalu, tradisi pesantren, dan pengabdian modern.

Hari Santri 2025 akan tercatat sebagai hari di mana ASN mendadak santri, bukan hanya mengenakan sarung dan peci, tetapi juga meneguhkan niat, kesadaran, dan pengabdian yang berpijak pada nilai-nilai budaya dan spiritual. Dari kantor pusat kementerian hingga pelosok kabupaten, pesan itu tetap sama: pengabdian yang tulus lahir dari hati yang bersih, kesadaran akan sejarah, dan ketulusan menjalankan amanah.

Di penghujung hari itu, ketika langkah-langkah apel mulai reda dan kantor kembali ke ritme keseharian, tersisa kesunyian yang manis dari kain sarung yang tersampir rapi, dari peci hitam yang menandai kesederhanaan, dari senyum ASN yang sejenak menapaki jalur santri. Bukan sekadar pakaian, tetapi sebuah simbol—pengingat bahwa pengabdian yang sejati lahir dari hati yang bersih, dari niat yang tulus, dan dari kesadaran akan nilai-nilai luhur yang diwariskan para santri.

ASN mendadak menjadi santri bukan hanya karena instruksi atau seremoni, tetapi karena kesempatan itu membuka ruang refleksi. Sarungan yang dikenakan hari ini seakan membisikkan pesan: bahwa karakter mulia seorang santri—rendah hati, sabar, disiplin, tawadhu’, dan penuh pengendalian diri—adalah sifat yang harus diwarisi setiap insan pengabdi bangsa. Dalam kesederhanaan sarung, tercermin ketulusan pengabdian; dalam setiap langkah dan doa, terpatri tanggung jawab moral yang lebih tinggi.

Hari Santri bukan hanya momen tahunan, tetapi juga cermin: sejenak, para ASN menoleh ke masa lalu, menyadari bahwa pengabdian publik yang bersih, profesional, dan berakhlak mulia lahir dari hati yang beriman, dari karakter yang meneladani santri. Sarung hari ini bukan hanya kain penutup tubuh, melainkan kain yang menutup ego, menenangkan qalbu, dan membuka mata nurani.

Semoga setiap helai sarung yang dikenakan, setiap doa yang dilantunkan, dan setiap dzikir yang terbisik di sudut kantor, menumbuhkan benih kesadaran, meneguhkan niat, dan menapaki jalan pengabdian yang tidak hanya profesional, tetapi juga spiritual. ASN mendadak santri hari ini mengingatkan kita semua: pengabdian yang tulus dan karakter mulia adalah warisan yang paling berharga, yang harus terus dijaga, diteruskan, dan dirawat, seperti sarung yang rapi, sederhana, namun sarat makna.

Dan ketika malam menutup langit Magetan, kesunyian yang tersisa adalah renungan: bahwa setiap insan yang mengenakan sarung, walau sekejap, memiliki kesempatan meneladani santri sejati, menumbuhkan kebajikan, dan menghidupi nilai-nilai luhur bangsa dengan penuh ketulusan.

Exit mobile version