PANCASILA DAN JALAN SELAMAT BANGSA

 

GUS IMAM AL MAGHTANY (Koordinator FUI Magetan)

 

Bangsa ini lahir dari rahim sejarah yang panjang, penuh darah dan air mata, bukan hadiah yang jatuh dari langit begitu saja. Sejarah mencatat bahwa persatuan kita ditempa oleh iman, doa, dan pengorbanan para ulama, wali songo, hingga pendiri republik. Pancasila bukan sekadar teks konstitusional, melainkan kristalisasi spiritual, politik, dan sosial dari perjalanan panjang bangsa yang menolak tunduk pada kolonialisme. Ia adalah jembatan antara bumi dan langit, antara nilai ketuhanan dan realitas kebangsaan.

KH. Hasyim Asy’ari pernah berkata, “Hubbul wathon minal iman” (Cinta tanah air sebagian dari iman)—sebuah kalimat sederhana namun menjadi api perjuangan yang tidak pernah padam. Dari prinsip inilah para ulama memandang bahwa menjaga tanah air sama sucinya dengan menjaga agama. Bung Karno menegaskan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya”. Sejarah itu kini kembali mengetuk kesadaran kita, sebab di balik kemerdekaan yang kita nikmati, ancaman baru datang dengan wajah yang lebih halus dan licin: ideologi transnasional, kolonialisme gaya baru, serta kapitalisme global yang merampas kedaulatan bangsa.

Lihatlah perjalanan Wali Songo. Sunan Kalijaga mengajarkan Islam dengan wayang dan gamelan, membumikan agama dengan cultural approach. Sunan Kudus mengajarkan toleransi melalui larangan menyembelih sapi, demi menjaga kerukunan dengan umat Hindu. Sunan Drajat menekankan solidaritas sosial dan gotong royong. Sunan Giri membangun pendidikan dan kaderisasi ulama. Semua berbeda jalur, namun bersatu dalam satu visi: membangun iman dan tanah air secara serentak. Raden Patah dengan Kesultanan Demak meletakkan dasar politik kebangsaan pertama berbasis Islam di Nusantara. Inilah bukti bahwa agama dan kebangsaan bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan satu jalan menuju keselamatan bersama.

Kesinambungan itu berlanjut ketika KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Seruan jihad fi sabilillah itu melahirkan gelombang perlawanan heroik 10 November di Surabaya. Sejarawan Anthony Reid menulis bahwa peristiwa itu merupakan perlawanan rakyat terbesar di Asia Tenggara pasca-Perang Dunia II. Inilah bukti historis bahwa ulama dan umat Islam adalah benteng terakhir bangsa ini. Tanpa mereka, republik ini bisa lenyap di tangan kolonial Belanda yang mencoba kembali berkuasa.

Namun kini, tujuh puluh sembilan tahun setelah proklamasi, wajah ancaman berubah. Neo-colonialism tidak lagi datang dengan meriam dan kapal perang, melainkan melalui hutang, investasi, dan infiltrasi budaya. Data Kementerian Keuangan menunjukkan utang pemerintah Indonesia pada Juli 2025 telah menembus Rp8.353 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,2% (Kemenkeu, 2025). Angka ini memang masih di bawah batas 60%, tetapi menjadi beban besar karena pembayaran bunga utang mencapai Rp509 triliun per tahun—lebih besar dari anggaran pendidikan nasional.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatat jumlah penduduk miskin masih 25,22 juta jiwa atau 9,2% dari total penduduk (BPS, 2025). Ironisnya, gaya hidup pejabat justru kian borjuis. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut kerugian negara akibat korupsi tahun 2024 mencapai Rp52,2 triliun dengan tren yang terus meningkat (ICW, 2025). Pada saat rakyat menjerit karena harga beras, BBM, dan listrik melambung, sebagian elite sibuk memamerkan kemewahan melalui pesta, mobil mewah, hingga gaya hidup hedonis yang jauh dari nilai kesederhanaan.

Gus Dur pernah berkata, “Negara ini bisa runtuh bukan karena perbedaan agama, tetapi karena ketidakadilan dan keserakahan”. Ucapan itu kini terbukti relevan. Ketidakadilan tampak nyata: pajak terus dinaikkan, sementara pengemplang pajak justru mendapat keringanan. Data Ditjen Pajak 2025 menunjukkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.310 triliun, naik 12,5% dari 2024, sementara mayoritas beban pajak jatuh ke kelas menengah dan bawah. Akibatnya daya beli rakyat melemah, ekonomi rakyat kecil semakin tercekik.

Ancaman tidak berhenti pada soal ekonomi. Dari sisi ideologi, muncul kelompok yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi transnasional, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Mereka menggunakan propaganda digital, memanfaatkan media sosial, bahkan menyusup ke ruang-ruang pendidikan. Di sisi lain, gaya hidup liberal Barat yang mengagungkan kebebasan tanpa batas masuk melalui industri hiburan. Generasi muda dicekoki budaya hedonism dan individualism, lebih mengenal influencer luar negeri ketimbang pahlawan bangsanya.

Sementara itu, sabotase terhadap kebijakan nasional terjadi secara sistematis. Berbagai program pembangunan kerap digagalkan lewat permainan politik oligarki. Infrastruktur mangkrak, proyek strategis disusupi korupsi, dan kebijakan pro-rakyat dilemahkan oleh mafia birokrasi. Inilah wajah baru kolonialisme: bukan lagi penjajahan asing semata, melainkan pengkhianatan dari dalam oleh anak bangsa sendiri.

Bung Hatta pernah mengingatkan, “Korupsi adalah musuh besar bangsa ini, lebih berbahaya daripada penjajah”. Jika dibiarkan, korupsi tidak hanya merampas uang rakyat, tetapi juga merampas masa depan generasi. Kita bisa kehilangan bonus demografi, kehilangan kedaulatan ekonomi, bahkan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang bermartabat.

Maka saat ini bangsa Indonesia membutuhkan sebuah new national awakening—kebangkitan nasional baru—yang berpijak pada iman, keadilan sosial, dan kepemimpinan moral. Pendidikan pesantren harus kembali menjadi benteng peradaban, bukan hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga sains, teknologi, dan kewirausahaan. Ekonomi kerakyatan harus dikembalikan sebagai dasar pembangunan, bukan menyerahkan kedaulatan pangan dan energi kepada modal asing. Negara harus hadir dalam melindungi rakyat kecil, bukan hanya menjadi satpam kepentingan investor global.

Sejarah telah mengajarkan, bangsa ini selalu selamat jika ulama, umat, dan pemimpin bersatu. Saat Demak berdiri, wali songo bersatu. Saat resolusi jihad digelorakan, ulama dan rakyat bersatu. Kini, di tengah ancaman ideologi, neo-colonialism, korupsi, dan gaya hidup menyimpang, persatuan itu kembali dituntut. Tanpa itu, Pancasila hanya akan menjadi teks mati, tidak lebih dari formalitas konstitusi.

Kita harus kembali pada ruh Pancasila: Ketuhanan yang menuntun kebijakan, kemanusiaan yang adil, persatuan yang kokoh, musyawarah yang tulus, dan keadilan sosial yang nyata. Inilah jalan selamat bangsa. Bung Karno pernah berpesan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dan sejarah telah membuktikan: bangsa ini hanya bisa tegak jika ia berdiri di atas iman, keadilan, dan pengorbanan.

Pancasila bukan hanya ideologi, ia adalah napas yang menghidupkan bangsa. Jika napas itu terhenti karena korupsi, keserakahan, dan penjajahan gaya baru, maka bangsa ini akan mati berdiri. Tetapi jika napas itu dijaga dengan doa, kerja keras, dan persatuan, maka Indonesia akan tetap tegak, menjadi bangsa besar yang bermartabat, dan menjadi cahaya bagi dunia.

Check Also

Polres Nganjuk Catat Hasil Signifikan di Akhir Operasi Patuh Semeru 2025

Polres Nganjuk Catat Hasil Signifikan di Akhir Operasi Patuh Semeru 2025

Seputarkita,Nganjuk – Polres Nganjuk resmi menutup pelaksanaan Operasi Patuh Semeru 2025 yang digelar selama 14 …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *