GUS IMAM (Mantan Jama’ah Haji Indonesia dari Magetan)
SeputarKita – Rp 975.300.000. Jumlah ini cukup untuk membeli sebuah rumah sederhana di pinggiran ibu kota, atau menebus satu unit kendaraan mewah keluaran terbaru, atau bahkan membiayai anak tercinta menempuh pendidikan hingga ke benua seberang. Tapi tahun ini, angka sebesar itu tak lebih dari sebuah tiket menuju tanah harapan yang enggan menerima. Tanah suci yang menutup gerbangnya dengan hening, tanpa sebab yang dimengerti, tanpa penjelasan yang bisa diterima akal, tapi sangat jelas terasa oleh hati.
Haji furoda. Jalur istimewa bagi mereka yang berlebih. Bukan reguler. Bukan haji plus. Ia jalur yang diidam-idamkan para pemilik waktu yang tak ingin menunggu, para pemilik harta yang tak segan membayar lebih demi mendekat ke Ka’bah, demi menyentuh dinding yang di dalamnya bersemayam rindu umat sepanjang zaman. Namun tahun ini, langit menjawab dengan sunyi. Saudi menutup pintu tanpa suara. Tanpa prolog. Tanpa aba-aba. Visa tak diterbitkan. Harapan terhenti. Debar yang menggunung runtuh dalam sesak yang tak bersuara.
Pejabat Tertinggi Kementerian Agama, dengan nada tenang menyampaikan bahwa hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Banyak negara lain merasakan hal serupa. Ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini adalah takdir yang berjalan dalam kehendak-Nya. “Laa yukallifullohu nafsan illa wus’ahaa.” Tak ada jiwa yang dibebani melebihi kemampuannya. Dan kadang, bukan dompet yang diuji, tapi keyakinan dalam dada.
Kita telah lupa bahwa panggilan haji bukanlah produk birokrasi. Ia bukan hak, melainkan anugerah. Ia bukan transaksi, melainkan takdir. Ia bukan hasil dari banyaknya rupiah, melainkan buah dari kelembutan hati dan izin Ilahi. Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghozali pernah berkata: “Man raagha anil hajj lima’zirin dharuriin wa maa raji’a bihubbillah, laa yuqobbalu lahu bay’an wa laa shodaqotan.” Siapa yang enggan berhaji karena alasan duniawi, lalu tidak kembali dengan cinta kepada Allah, maka sedekah dan amalnya pun tertolak.
Maka benarlah, bukan semua yang mampu itu berangkat. Dan bukan semua yang berangkat itu diterima. Sebab di antara jutaan manusia yang berduyun-duyun ke tanah suci, hanya segelintir yang benar-benar menyentuh maqam cinta. Sebab Ka’bah bukan hanya bangunan yang dikelilingi, tapi pusat tarikan ruhani yang hanya bisa disentuh oleh jiwa yang suci, oleh hati yang rindu tanpa pamrih.
Lihatlah, betapa banyak para hartawan yang kecewa. Koper Samsonite tertata rapi. Kain ihram dari toko eksklusif di Jakarta sudah terlipat wangi. Tetapi semuanya kembali ke rumah masing-masing. Bukan dengan air zamzam, bukan dengan oleh-oleh doa dari Arafah, tapi dengan duka yang menyesak dada. Mereka pulang dalam diam, tertunduk, bertanya dalam hati: mengapa langit tidak merestui?
Sementara itu, di sudut pasar desa, Pak Dullah, pedagang es tebu yang bersahaja, dengan sandal swallow dan tas jinjing lusuh, justru terbang menuju Makkah. Jalur reguler. Hanya bermodal tabungan dua dekade, ditemani istri setia dan restu dari ibu yang renta. Ia tak tahu bagaimana cara menyewa hotel bintang lima. Tapi ia tahu bagaimana menangis di sepertiga malam, memohon agar Allah memilihnya. Dan Allah memilihnya.
Inilah rahasia Tuhan yang tak bisa ditebak. Ia memilih siapa saja yang Ia kehendaki, tanpa harus melalui rekening atau rekomendasi. “Yahdi man yasyaau ila shiroothim mustaqiim.” Dia memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, menuju jalan yang lurus. Mungkin karena Pak Dullah lebih jujur dalam rindu, lebih ikhlas dalam harap, dan lebih sabar dalam penantian.
Haji bukan soal siapa tercepat. Bukan soal siapa terkaya. Tapi siapa yang paling lembut hatinya untuk dipanggil dan paling tunduk langkahnya untuk sujud. Maka berhajilah, bukan dengan kekayaan, tetapi dengan keikhlasan. Bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan kehinaan diri di hadapan-Nya. Bukan dengan fasilitas, tetapi dengan air mata yang tak pernah kering merindukan Baitullah.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Iza aradallohu bika khoiron, fatahollaka abwaabal-ma’na, wa aghlaqalaka abwaabal-maddah.” Jika Allah menghendaki kebaikan untukmu, maka Dia akan membukakan pintu makna dan menutup pintu dunia. Maka jangan bersedih jika pintu dunia tertutup. Sebab bisa jadi, itu cara Allah membukakan pintu makrifat kepada kita.
Kadang, saat visa langit ditutup, Allah justru sedang mengundangmu ke dalam ruang paling dalam dari ibadah: sabar dan tawakal. Sebab mungkin, jika kita jadi berangkat, hati kita belum layak untuk hadir. Mungkin karena kita belum benar-benar siap menjadi tamu-Nya. Mungkin karena kita masih mengira Ka’bah bisa dibeli, bukan dipanggil. Mungkin karena kita belum membersihkan niat hingga benar-benar hanya mengharap rida-Nya, bukan prestise sosial atau selfie spiritual.
Maka jangan marah, jangan protes. Jangan menggugat takdir seolah kita lebih tahu skenario-Nya. Cukuplah kita menangis, lalu berdoa: “Yaa Allah, jangan hukum aku karena keinginanku. Pilihkanlah aku waktu terbaik untuk bersimpuh di hadapan-Mu, bukan waktu yang aku paksakan.”
Karena mungkin, saat ini bukan saatnya kita ke Makkah. Tapi saatnya kita kembali ke dalam diri. Mungkin belum waktunya kita wukuf di Arafah, tapi justru saatnya kita bermalam di padang hati yang sepi, lalu bersujud dalam kekosongan yang hening, mencari jejak-Nya. Sebab sejatinya, setiap jalan ke Makkah adalah jalan kembali ke hati. Dan siapa pun yang mengenal Allah di dalam hatinya, maka ia telah menunaikan haji yang paling agung.
Ketika tiket langit habis, kesempatan mendapatkan visapun tertutup, mari kita buka pintu jiwa. Ketika berita keberangkatanpun tak kunjung muncul, mari kita ijinkan ruh untuk terbit menyinari langkah. Karena surga bukan tempat yang bisa dibooking. Tapi cahaya yang tumbuh dalam dada-dada yang bersih.
Inilah saatnya. Bukan untuk mengeluh. Tapi untuk bersyukur. Karena ditundanya keberangkatan, bisa jadi adalah jalan percepatan menuju makrifat.
Dan sesungguhnya, haji yang sejati adalah ketika hati kita sampai, meski tubuh kita masih di sini. “Wa man yu’til hikmata faqod uutiya khoiron katsiiro.” Barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang melimpah. Maka bersujudlah. Meskipun Ka’bah belum tersentuh tanganmu, pastikan ia telah tertanam dalam qalbumu.
Allohu a’lam bish-showab.