GUS IMAM (Pengamat Sosial Politik Islam, Koordinator Barisan Merah Putih Magetan)
SeputarKita – Ada nyala yang tak boleh padam dalam sejarah bangsa ini: nyala Pancasila. Setiap 1 Juni, kita menziarahi denyut awal mula rumah besar bernama Indonesia. Pada hari itu, Bung Karno menyulut api ideologi yang menyatukan jiwa-jiwa dalam satu ikrar: Tanah Air yang merdeka, yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu, berkerakyatan, dan berkeadilan.
Pancasila bukan sekadar formula konstitusional, melainkan ruhul qoum—jiwa bangsa—yang menjadi orbit peradaban Indonesia. Ia bukan hanya bagian dari pembukaan UUD 1945, tetapi juga ikatan batin yang melampaui batas teks. Di sanalah setiap anak bangsa dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, menautkan cita, doa, dan darah perjuangan.
Di tengah keberagaman yang memesona, Pancasila adalah kalimatun sawa’, titik temu yang adil dan mulia, tempat kita berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Ia bukan hanya bentuk toleransi, tapi juga kasih sayang yang terajut dalam prinsip saling menguatkan dan menghormati. Sebagaimana firman Alloh dalam QS. Al-Hujurāt ayat 13, “Inna akromakum ‘indallōhi atqōkum”—Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Alloh adalah yang paling bertakwa.
Hari Lahir Pancasila bukan sekadar upacara simbolik, tetapi momen tajdīdul ‘ahd—memperbarui janji—bahwa kita tak akan membiarkan ideologi agung ini menjadi monumen kosong, melainkan menjadikannya manhajul hayah—panduan hidup nyata dalam mengarungi pembangunan nasional.
Dalam lanskap kenegaraan kontemporer, Asta Cita—delapan agenda strategis menuju Indonesia Emas 2045—menempatkan penguatan Pancasila, demokrasi, dan HAM sebagai pondasi utama. Ini bukan sekadar formalitas birokrasi, melainkan bentuk amar ma’ruf dalam wujud kebangsaan. Sebab tanpa nilai, kemajuan hanya menjadi fatamorgana. Tanpa moral, pembangunan akan berubah menjadi kekuasaan yang membusuk dan menindas.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah mengingatkan, “Ad-dawlah innamā taqūmu bil-‘adl walau kānat kāfirah, wa lā taqūmu bidh-dzulm walau kānat muslimah”—Negara dapat berdiri kokoh karena keadilan walaupun ia kafir, dan akan runtuh karena kezaliman meski ia mengaku muslim. Maka dari itu, sila kelima Pancasila bukan sekadar harapan, melainkan pijakan spiritual dan sosial yang menopang keberlangsungan bangsa: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menyelami sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa—membuat kita sadar bahwa fondasi peradaban bukanlah materialisme atau ego sektarian, tetapi tauhid yang menebarkan kasih dan hikmah. Dari sinilah kita membangun bangsa bukan hanya dengan otot dan otak, tetapi juga dengan hati yang takut kepada Alloh, khaufan wa thamā.
Sila kedua memanggil kita untuk menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Di tengah krisis global, dehumanisasi digital, dan kompetisi ekonomi yang keras, kita ditantang untuk menghidupkan kembali makārim al-akhlāq—akhlak luhur—sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ: “Innamā bu‘itstu li utammima makārimal akhlāq”—Aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Sila ketiga tentang persatuan Indonesia harus menjadi tameng di tengah derasnya polarisasi politik dan fanatisme identitas. Ini adalah saatnya kita menghidupkan kembali semangat ukhuwah wathoniyyah—persaudaraan kebangsaan—sebagai jalan menjaga keutuhan negeri dari keretakan batin. KH. Hasyim Asy’ari pernah menegaskan, “Hubbul wathon minal īmān”—Cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Sila keempat dan kelima wajib kita rajut menjadi etika kepemimpinan nasional. Demokrasi bukan hanya tentang suara terbanyak, tetapi tentang kebijaksanaan yang menyejahterakan. Kerakyatan bukan sekadar keterwakilan formal, tetapi maslahah yang berpihak pada petani, nelayan, buruh, dan kaum dhuafa. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Al-imāmu rā‘in wa mas’ūlun ‘an ra‘iyyatihi”—Pemimpin adalah pemelihara dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia pimpin.
Tantangan ke depan tidak ringan. Dunia digital telah menjadi arena baru pertempuran nilai. Di ruang-ruang maya, Pancasila harus tetap hadir sebagai mi‘yārul akhlāq—standar etika. Jangan biarkan algoritma menggantikan akal sehat. Jangan biarkan kebebasan berubah menjadi kebiadaban. Di sinilah pentingnya literasi digital yang berpijak pada moral, kasih sayang, dan tanggung jawab kebangsaan.
BPIP dan institusi terkait telah melakukan banyak langkah strategis. Namun, Indonesia tidak cukup ditopang oleh lembaga negara saja. Bangsa ini memerlukan jundullāh—pasukan Alloh—dari kalangan guru, santri, petani, pemuda, ulama, ASN, dan semua warga yang siap menjadi pelaku sejarah. Mereka adalah “Rijālun shodaqū mā ‘āhadullāha ‘alayh”—orang-orang yang setia terhadap janji yang mereka ikrarkan kepada Alloh (QS. Al-Ahzāb: 23).
Pancasila bukan hanya harus diajarkan, tetapi diteladankan. Ia bukan hanya dihafalkan, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata. Seperti kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “‘Ilmun bilā ‘amalin ka syajaratin bilā tsamarin”—Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah.
Maka hari ini, mari kita rebut kembali makna Pancasila dari mulut-mulut yang menjadikannya alat retoris politik, dari tangan-tangan yang menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi, dan dari hati-hati yang melupakannya sebagai nilai suci bangsa. Jadikan ia bukan sekadar identitas administratif, tetapi nūrun ‘alā nūr—cahaya di atas cahaya—yang menerangi jalan kita menuju Indonesia yang adil, merdeka secara hakiki, dan mulia dalam pandangan dunia.
Kita ingin Indonesia bukan hanya kuat dalam angka, tapi juga agung dalam akhlak. Bukan hanya besar dalam proyek, tapi juga bijak dalam peradaban. Bukan hanya maju oleh teknologi, tapi juga luhur karena nilai-nilai ilahiyah yang hidup di jantung Pancasila.
Hari ini, marilah kita tegakkan kembali janji suci itu. Bukan dengan seremoni, tetapi dengan kesadaran. Bukan dengan pidato, tetapi dengan pengorbanan. Dengan cinta yang menyatukan dan nilai yang membebaskan.
Sebab selama Pancasila masih menyala di dada anak bangsa, selama itu pula Indonesia akan tetap menjadi harapan dunia: “Baldatun thayyibatun wa robbun ghofūr”—Negeri yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. Saba’: 15).