Site icon Media Seputar Kita

PERPISAHAN ATAU PEMAKSAAN??? Saat SMP Negeri di Comal Tak Peka pada Aturan

SeputarKita,Pemalang-Perpisahan siswa SMP seharusnya menjadi momen reflektif dan sederhana, bukan ajang pemaksaan biaya yang membebani orang tua. Namun kenyataannya, di salah satu SMP Negeri di Kecamatan Comal, para siswa dibebani biaya perpisahan sebesar Rp250.000 per anak, bahkan ada yang lebih.Sabtu(31/5/2025)

Ironisnya, pungutan ini dilakukan tanpa kwitansi resmi, dan dibungkus dengan dalih “kesepakatan antara komite dan wali murid.”

Di lapangan, banyak orang tua mengaku tidak pernah diajak musyawarah terbuka, tidak mengetahui rincian anggaran, bahkan merasa tertekan untuk ikut membayar agar anak mereka tidak dipermalukan atau dikucilkan.

Komite Sekolah Jadi Tameng, Sekolah Cuci Tangan

Modus klasik menggunakan “kesepakatan” sebagai tameng pungutan yang sebenarnya tidak sah terus berulang. Padahal, menurut Permendikbud No. 75 Tahun 2016, Komite Sekolah dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik/orang tua. Komite hanya boleh menghimpun sumbangan yang bersifat sukarela, dan bukan paksaan yang dibalut formalitas.

Ketika pungutan dilakukan secara wajib, tidak transparan, tanpa kuitansi, dan tidak memberi ruang keberatan, maka ini bukan partisipasi — ini pemaksaan.

Hindari Pungutan Liar Berkedok Perpisahan,

Menjelang masa kelulusan, fenomena pungutan perpisahan terus muncul di banyak sekolah. Sejumlah praktisi hukum dan lembaga pendidikan telah memberikan himbauan keras agar sekolah tidak melakukan pungutan wajib dengan dalih kegiatan seremonial.

Menurut Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., Cpm, seorang praktisi hukum di wilayah Kabupaten Pemalang:

“Sekolah negeri atau sekolah yang menerima dana BOS tidak diperbolehkan melakukan pungutan yang bersifat wajib, apalagi jika disertai dengan tekanan sosial terhadap siswa yang tidak mampu. Jika itu terjadi, maka berpotensi menjadi pungutan liar dan bisa dilaporkan ke aparat penegak hukum atau Ombudsman,” tegasnya.

Ia juga menambahkan:
“Pungutan tidak boleh menjadi syarat kelulusan atau pengambilan ijazah. Semua bentuk iuran harus bersifat sukarela, transparan, dan tidak boleh disertai tekanan dari pihak sekolah.”

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa praktik ini bertentangan dengan sejumlah regulasi yang telah ditetapkan negara:

Aturan yang Dilanggar:

1. Permendikbud No. 75 Tahun 2016 – Melarang komite sekolah melakukan pungutan, hanya memperbolehkan sumbangan sukarela.

2. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional – Menjamin pemerataan dan akses pendidikan tanpa diskriminasi.

3. Permendikbud No. 44 Tahun 2012 & No. 45 Tahun 2014 – Sekolah negeri tidak boleh membebani orang tua dengan pungutan di luar ketentuan.

4. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik – Mengatur prinsip transparansi, akuntabilitas, dan larangan pungutan liar.

Harapan Masyarakat:

1. Audit Dana Perpisahan – Harus ada transparansi ke publik: siapa pengelola, berapa jumlah, dan kemana alokasi dana tersebut.

2. Evaluasi Peran Komite Sekolah – Komite yang justru menjadi fasilitator pungutan wajib harus dievaluasi keberadaannya.

3. Hentikan Tekanan Sosial terhadap Siswa Tidak Mampu – Tidak boleh ada diskriminasi karena tidak mampu membayar acara yang bukan kewajiban.

“Jika pendidikan menjadi tempat lahirnya ketidakadilan yang dilembagakan, maka sekolah kehilangan makna sebagai ruang pembebasan.(FN)

Exit mobile version