Gus Imam (Mantan Siswa PSHT, Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)
Dalam pusaran dunia yang kian melesat tanpa jeda, manusia terperangkap dalam ilusi pencapaian. Mereka mengejar bayang-bayang fana, mengukur kebahagiaan dengan metrik duniawi, tetapi terperosok dalam kehampaan. Di tengah arus ini, Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) berdiri sebagai mercusuar, mengajak setiap insan untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan menemukan “Sang Mutiara Hidup” yang telah lama tersimpan dalam lubuk hati nurani.
PSHT, sebagaimana dihayati oleh para warganya, bukan sekadar organisasi pencak silat. Ia adalah perjalanan menuju hakikat, sebuah tarekat kontemporer yang mengawinkan tasawuf dengan spiritualitas Jawa. Konsep tasawuf yang menekankan pada penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) menemukan ruangnya dalam falsafah Jawa tentang “sangkan paraning dumadi”—perjalanan kembali kepada Sang Causa Prima, sumber dari segala yang ada. Ajaran ini tidak hanya menggugah pikiran, tetapi juga merangkul rahsa, hati, dan ruh manusia untuk menyadari bahwa apa yang dikejar-kejar di luar sana sesungguhnya telah hadir di dalam diri.
Pencak silat, sebagai pintu masuk ajaran PSHT, bukanlah sekadar seni bela diri. Ia adalah simbol dari keseimbangan antara tubuh, jiwa, dan pikiran. Dalam tahap awalnya, PSHT mengajarkan seni mempertahankan diri untuk menjaga kehormatan dan kebenaran. Namun, inti dari ajaran ini melampaui dimensi fisik. PSHT menanamkan kesadaran bahwa musuh terbesar bukanlah ancaman eksternal, tetapi ego, hawa nafsu, dan kebodohan yang bercokol di dalam diri. Inilah titik di mana spiritualitas Jawa dan tasawuf bertemu, mengajarkan bahwa pengenalan diri (ma’rifat al-nafs) adalah jalan menuju pengenalan Tuhan (ma’rifatullah).
PSHT memahami bahwa manusia diciptakan untuk berkembang menuju kesempurnaan. Namun, kesempurnaan itu tidak ditemukan dalam glorifikasi duniawi atau gemerlap prestasi, melainkan dalam ketundukan kepada kehendak Ilahi. Organisasi ini menegaskan bahwa keabadian adalah tujuan, tetapi perjalanan menuju ke sana adalah tangga-tangga perjuangan yang harus dilalui dengan kesadaran penuh. Dalam setiap gerakannya, PSHT mengajak para warganya menyingkap tirai hati nurani, menembus selubung dunia untuk menemukan cahaya Tuhan yang bersinar di balik segala tirai.
Namun, perjalanan menuju kesadaran ini tidaklah mudah. Dunia modern dengan segala distraksinya sering kali membuat manusia lupa akan asal dan tujuannya. Dalam konteks ini, PSHT bukan hanya menawarkan ajaran, tetapi juga ikatan persaudaraan yang kokoh. Persaudaraan ini adalah manifestasi dari nilai-nilai Islam dan kejawaan, yang menempatkan cinta, kebijaksanaan, dan harmoni sebagai poros kehidupan. PSHT mengajarkan bahwa kehormatan manusia tidak hanya terletak pada keberanian melawan musuh, tetapi juga pada kerendahan hati untuk menerima bahwa hidup ini hanyalah jembatan menuju keabadian.
Di sisi lain, PSHT tidak menafikan martabat duniawi. Ia tidak memusuhi tubuh, tetapi menjadikannya sebagai sarana untuk mencapai kepuasan hidup yang sejati—kepuasan yang melampaui batas-batas fisik dan duniawi. Organisasi ini menjadi wadah yang memadukan lahiriah dan batiniah, material dan spiritual, modernitas dan tradisi. PSHT menyadarkan bahwa kehidupan yang sempurna bukanlah tentang menghindari dunia, tetapi tentang menghadapinya dengan jiwa yang telah tercerahkan.
Ajaran PSHT adalah seruan yang provokatif, mengingatkan manusia bahwa mereka bukan sekadar makhluk biologis yang terkurung dalam ruang dan waktu. Ia menggugah kesadaran akan keterpaduan dengan qudrah Sang Maha Rahman, menegaskan bahwa setiap tarikan napas adalah jejak rahmat-Nya. Dalam setiap latihan, meditasi, dan kontemplasi, warganya diajak untuk merasakan getar cinta-Nya yang hadir dalam setiap atom semesta.
PSHT bukanlah sekadar organisasi, tetapi sebuah gerakan transformatif yang mengajak manusia kembali kepada hakikat hidup. Ia tidak hanya mengajarkan perlawanan terhadap ketidakadilan dunia, tetapi juga melawan keterasingan dari diri sendiri dan Tuhan. Dalam perjalanan ini, PSHT memberikan harapan bahwa meskipun dunia penuh luka, manusia selalu memiliki jalan untuk pulang, jalan untuk menemukan kebahagiaan abadi di hadapan-Nya.
Ajaran kerohanian PSHT bak pancaran doa yang tak terucap, sebuah pengingat bahwa apa yang kita cari di luar sesungguhnya telah lama hadir di dalam diri kita. Dalam sunyi hati, dalam gelap malam, dalam lantunan munajat yang lirih, nafas yang tertata, dan ruh yang pasrah, disertai hiangnya ke-akuan diri. Kosong, Suwung, Hong, yang ada hanyalah Dzat Wujud Tuhan Yang Maha Esa yang berkuasa atas diri dan jiwa. Setiap diri warga PSHT menyadari Kemahaperkasaan Tuhan, dirinya hanyalah seperti galih kangkung, hanya seperti wayang yang digerakkan oleh Dalang yang Maha Merencanakan.
Pada akhirnya PSHT mengajak setiap insan untuk menyelami kedalaman dirinya, menyingkap rahsa, dan kembali kepada-Nya, Sang Causa Prima. Sang Mutiara Hidup dalam sanubari akan selalu merindu terhadap kekasihnya. Berupa terus mendekat dengan lantunan dzikir nafas dan kesadaran akan qalbu, hingga cahaya hati itu akan bersinar terang dan semakin terang, bahagia sepanjang masa. Semoga Alah Ridha. Aamiin.