Money Politik dan Golput Mengancam Legitimasi Pemilu

 

Lamongan – Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, kembali terungkap praktik money politik atau politik uang yang kerap mewarnai momen pemilihan di Indonesia. Meskipun sudah menjadi rahasia umum, para calon peserta kontestan tetap menggunakan cara ini untuk menarik simpati dan mendapatkan suara.

Dengan membagikan uang atau amplop kepada pemilih, mereka berharap bisa memenangkan dukungan, meskipun hal ini jelas bertentangan dengan prinsip pemilihan yang bersih dan adil.

Namun, meskipun adanya praktik politik uang yang masif, ada sebuah fenomena yang justru mengkhawatirkan, tingginya angka golput atau warga yang tidak menggunakan hak suaranya.

Alasan utama ketidakikutsertaan ini adalah mereka merasa tidak mendapat ‘serangan fajar’, atau amplop yang biasa dibagikan kepada pemilih. Banyak warga yang merasa tidak ‘terlirik’ oleh para calon kepala daerah, karena tidak ada janji atau uang yang dibagikan untuk memengaruhi pilihan mereka.

Fenomena ini mencerminkan betapa money politik masih dianggap sebagai bagian penting dari proses pemilihan, meskipun banyak yang mengkritik praktek tersebut sebagai cara yang tidak etis dan merusak demokrasi

Salah satu warga yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan kekecewaannya terhadap situasi ini.

“Saya tidak pernah merasa dihargai dalam pemilu. Kalau tidak ada uang yang dibagikan, ya ngapain saya memilih? Mereka cuma ingat kami saat ada pemilu,” ungkapnya.

Senada dengan itu, seorang warga lainnya, Dwi (35), juga menyatakan bahwa ia lebih memilih untuk tidak memilih jika tidak ada imbalan yang diberikan.

“Serangan fajar itu sudah jadi budaya. Saya sih lebih memilih golput daripada memilih tanpa ada yang memberi,” ujarnya.

Pengamat politik, Siti Nurlaila, menilai bahwa fenomena tingginya angka golput ini menunjukkan adanya ketidak percayaan publik terhadap proses pemilu yang masih didominasi oleh politik uang.

“Money politik sudah terlalu mengakar dalam budaya pemilu di Indonesia. Ini menciptakan kesan bahwa pemilu tidak lebih dari sekadar transaksi. Masyarakat merasa bahwa mereka hanya dihargai saat ada amplop yang dibagikan, bukan karena kualitas calon yang mereka pilih,” jelas Nurlaila.

Sementara itu, pengamat sosial, Arief Budiman, berpendapat bahwa tingginya angka golput bisa berpotensi merusak legitimasi hasil Pilkada 2024.

“Golput yang tinggi bukan hanya karena ketidakpercayaan terhadap calon, tetapi juga akibat sistem yang mengabaikan partisipasi aktif masyarakat. Jika tidak ada upaya serius untuk memberantas praktik money politik ini, kita akan semakin jauh dari demokrasi yang sesungguhnya,” tegasnya.

Fenomena ini tentu menjadi sorotan serius bagi masyarakat dan pihak berwenang. Jika tren golput ini terus berlanjut, maka Pilkada 2024 berisiko kehilangan legitimasi dan menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia. (In).

Check Also

Bupati Pemalang Mansur Hidayat Pimpin upacara Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 PGRI

Bupati Pemalang Mansur Hidayat Pimpin upacara Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 PGRI

” Guru Hebat Indonesia Kuat “   SeputarKita, Pemalang – Bupati Pemalang Mansur Hidayat Pimpin …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *