KETUA KOMNASDIK MAGETAN : DEEP LEARNING ADALAH TANTANGAN BARU DUNIA PENDIDIKAN

 

SeputarKita, Magetan – Ketua Komisi Nasional Pendidikan (KOMNASDIK) Kabupaten Magetan, Imam Yudhianto S.Pd,.MM, menyampaikan pandangannya dalam diskusi non formal dengan beberapa pengamat, aktivis dan pelaku pendidikan di Pendopo Distrik Maospati (Senin, 18/11/2024). Topik yang dibahas mencakup kebijakan terbaru dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’thi, yaitu konsep deep learning yang melibatkan pendekatan mindful, meaningful, dan joyful learning.

“Kebijakan Merdeka Belajar telah memunculkan kekhawatiran tentang terjadinya shallow learning, yang berkontribusi pada penurunan kinerja PISA kita. Saya mendukung kebijakan deep learning ini, tetapi pelaksanaannya menuntut perubahan radikal dalam tata kelola pendidikan, yang selama ini dimonopoli oleh persekolahan,” ujar Imam Yudhianto.

Imam menambahkan, jika Ujian Nasional (UN) kembali diberlakukan sebagai penentu kelulusan, maka implementasi deep learning berpotensi hanya menjadi slogan. “Deep learning hanya akan menjadi retorika belaka jika tata kelola pendidikan tidak berubah secara mendasar,” tegasnya.

Imam juga menyoroti narasi bahwa Kementerian Pendidikan tengah beralih dari paradigma schooling ke paradigma learning. Namun, menurutnya, hal ini belum diterjemahkan secara nyata dalam bentuk perubahan tata kelola pendidikan sebagai barang publik. “Persekolahan kini lebih dipandang sebagai barang privat yang mahal, padahal pendidikan seharusnya menjadi hak semua orang,” jelasnya.

Ia mengkritik bagaimana internet telah memaksa perubahan dalam tata kelola pendidikan dengan mengikis tembok sekolah yang selama ini menjadi pembatas antara institusi pendidikan formal dan akses luas ke informasi.

Imam mengingatkan kembali pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang tiga pilar pendidikan: keluarga, masyarakat, dan perguruan. “Ki Hadjar menggunakan istilah perguruan, bukan persekolahan, karena bagi beliau guru adalah elemen utama dalam pendidikan,” katanya.

Menurut Imam, persekolahan seringkali memonopoli persepsi masyarakat sebagai tempat belajar terbaik, mengesampingkan peran keluarga dan masyarakat. “Muncul anggapan bahwa tidak bersekolah berarti tidak terdidik, padahal belajar sejati tidak terbatas pada institusi sekolah.”

Dalam diskusi tersebut, Imam juga mengutip pandangan Sugata Mitra dan Ivan Illich. Sugata Mitra dengan konsep Self Organized Learning Environment (SOLE) menekankan bahwa kurikulum ketat tidak diperlukan oleh siswa dengan kecerdasan rata-rata. Sementara itu, Ivan Illich dalam bukunya Deschooling Society mempromosikan pembebasan pendidikan dari hegemoni persekolahan.

Illich bahkan pernah menunjuk pesantren Pabelan di Muntilan sebagai model institusi pembelajaran yang lebih efektif dibandingkan sekolah konvensional. “Sekolah massal hanyalah alat teknokratik untuk mencetak tenaga kerja, sedangkan deep learning menuntut pendekatan yang lebih personal dan berbasis pada kebutuhan murid,” tambah Imam.

Imam menggarisbawahi bahwa pembelajaran yang mindful, meaningful, dan joyful membutuhkan keberanian untuk meninggalkan kenyamanan lingkungan sekolah. “Belajar yang efektif harus berisiko, tidak teratur, dan tidak nyaman. Pengalaman belajar yang bermakna hanya bisa didapatkan di luar sekolah, dengan menghadapi tantangan nyata,” tutupnya.

Diskusi ini menegaskan bahwa meskipun kebijakan deep learning memberikan harapan baru, realisasinya memerlukan reformasi tata kelola pendidikan yang mendalam dan komprehensif. (red)

Check Also

BKAD Lembeyan Gelar Sosialisasi Program Jaga Desa 

BKAD Lembeyan Gelar Sosialisasi Program Jaga Desa 

  SeputarKita, Magetan – ( Jaga Desa) berperan penting dalam mewujudkan penggunaan Dana Desa yang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *