Oleh : Muries Subiyantoro
Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI (Local Government and Political Research Institute) Magetan
Presiden pertama Indonesia Bung Karno pada peringatan HUT Kemerdekaan RI tahun 1966 pernah berpidato tentang Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah atau yang sering kita kenal selama ini dengan sebutan Jas Merah. Dan pidato kepresidenan Bung Karno ini merupakan pidato kepresidenan terakhir, karena pada tahun 1967 Bung Karno bukan lagi presiden. Bung Karno melalui pidatonya tersebut menggaungkan pesan kepada rakyat bahwa semua komponen masyarakat/bangsa jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Sebab dari sejarah itulah kita bisa banyak belajar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Kabupaten Magetan tepat pada tanggal 12 Oktober 2023 berusia genap 348. Sebuah kabupaten yang asal usul berdirinya tak lepas dari konflik, khususnya konflik di Kerajaan Mataram. Sehingga sejak awal berdiri, Magetan menjadi tempat yang terkenal akan ‘potensi’ dan ‘sejarah’ konfliknya. Tetapi, tulisan saya kali ini tidak akan mengulas tentang konflik dalam sejarah berdirinya Magetan, namun akan lebih membahas tentang keberadaan sosok Pahlawan Nasional yang lahir di Magetan dan meninggal pun akhirnya dikebumikan di bumi/tanah Magetan, yaitu Gubernur Soerjo, sosok yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kabupaten Magetan
Yang “Kontroversial” dan Yang Terlupakan
Sosok Pahlawan Nasional yang boleh dibilang “kontroversial” yang dimiliki bangsa ini setidaknya ada 2 (dua), yaitu Tan Malaka dan Gubernur Soerjo. Kita masih ingat ketika era Orde Baru, sosok Tan Malaka “ditempatkan” pada posisi yang “hampir tidak ada jasa, perjuangan dan pengorbanan” terhadap bangsa. Buku terkenal karya Tan Malaka yang sangat bombastis yang berjudul Madilog sempat dicekal penerbitannya. Baru pada era Refomasi karya-karya besar Tan Malaka bisa beredar dan mendapatkan tempat di hati masyarakat. Dan kontroversi-kontroversi lainnya masih menyelimuti tentang sosok Tan Malaka hingga saat ini.
Pahlawan Nasional berikutnya yang juga “kontrovesial” adalah sosok Gubernur Soerjo, seorang Pahlawan Nasional putra asli Magetan. Penulis dan kita semua mungkin masih ingat, ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, di dinding kelas hampir terpasang foto/gambar sosok-sosok Pahlawan Nasional, dan ternyata di dalam kumpulan foto/gambar tersebut, kita tidak pernah menemui foto/gambar Gubernur Soerjo. Padahal sejak tahun 1964, Presiden RI pertama Bung Karno mengeluarkan Keputusan Presiden RI yang mengangkat Gubernur Soerjo sebagai Pahlawan Nasional Pejuang Kemerdekaan. Dari sini sudah timbul pertanyaan, mengapa foto/gambar Gubernur Soerjo tidak ada dalam deretan foto/gambar para Pahlawan Nasional lainnya? Bahkan sampai sekarang pun jika kita mencari atau membeli gambar Pahlawan Nasonal, gambar Gubernur Soerjo juga tidak ada.
Gubernur Soerjo sebelum menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur pertama kali pasca Kemerdekaan RI, adalah menjabat sebagai Bupati Magetan yang ke-13 pada periode masa jabatan 1938-1943, menggantikan Bapak Mertuanya Eyang Hadiwinoto. Dalam memimpin Magetan, Eyang Soerjo terkenal sebagai sosok Bupati yang pemberani dan sangat dekat dengan rakyatnya. Keberanian Eyang Soerjo ketika awal menjadi Bupati Magetan adalah pada saat didatangi pasukan Jepang yang mendatangi Pendopo Magetan (Pendopo Surya Graha saat ini) menemui Eyang Soerjo dengan menggunakan Bahasa Jepang dengan nada marah sambil menghunuskan samurai. Eyang Soerjo dengan seorang diri menghadapi pimpinan pasukan Jepang dan dengan mengunakan Bahasa Jawa menyatakan bahwa “kowe sopo teko ora sopan, aku ora kenal karo kowe, aku ora wedi”. Akhirnya, pimpinan dan pasukan Jepang yang datang tersebut tidak lagi marah-marah dan berperilaku sopan memperkenalkan diri kepada Eyang Soerjo.
Di masa kepemimpinan Eyang Soerjo menjadi Bupati Magetan, terkenal dengan sosok yang merakyat. Sering Eyang Soerjo baik sendiri maupun mengajak istri Eyang Siti Moestopeni berjalan keliling alun-alun Magetan untuk sekadar menyapa dan mendengar keluh kesah masyarakat. Dan sosok Eyang Soerjo adalah sosok pribadi yang sederhana, karena ‘saking’ sederhananya bahkan Eyang Soerjo tidak memiliki rumah/kediaman sendiri.
Eyang Soerjo pada tahun 1943 selepas menjabat Bupati Magetan mendapat tugas baru sebagai Syuchokan/Residen, dan pada era itu hanya ada 2 (dua) pribumi yang diberi mandat sebagai Residen, salah satunya adalah Eyang Soerjo sebagai Residen Bojonegoro. Selepas Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno mendirikan beberapa provinsi, salah satunya adalah Provinsi Jawa Timur, dan Bung Karno menunjuk Eyang Soerjo sebagai Gubernur Jawa Timur pertama kali. Dan pada tanggal 12 Oktober 1945 di saat Eyang Soerjo boyong dari Bojonegoro ke Surabaya, pada tanggal inilah dijadikan momentum HUT Provinsi Jawa Timur dan sekaligus bersamaan tanggal dan bulan yang sama dengan HUT Kabupaten Magetan.
Di awal-awal masa kepemimpinan Eyang Soerjo sebagai Gubernur Jawa Timur pertama kali dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sulit dan tidak menentu, karena keinginan penjajah untuk menjajah kembali Indonesia. Dan puncak dari serangkaian kepemimpinan awal Eyang Soerjo sebagai Gubernur Jawa Timur adalah adanya ultimatum Inggris kepada rakyat Surabaya untuk menyerah dan mengembalikan semua persenjataan yang dimiliki kepada pihak Inggris pada tanggal 10 Nopember 1945. Keputusan untuk menyerah atau melawan pada era itu dibebankan dan diserahkan keputusan sepenuhnya kepada Gubernur Soerjo dari Pemerintah Pusat RI di Jakarta. Dengan pertimbangan matang yang melibatkan semua unsur (ulama, pejabat daerah, laskar rakyat, dan sebagainya), maka Gubernur Soerjo pada tanggal 9 Nopember 1945 menjelang pukul 23.00 atau satu jam sebelum memasuki tanggal 10 Nopember 1945, berpidato di RRI Surabaya dengan terkenal sebutan Komando Keramat yang pada intinya Gubernur Soerjo menyatakan “lebih baik hancur daripada di jajah kembali, kita lawan ultimatum Inggris”. Dan keesokan harinya tepat pada tanggal 10 Nopember 1945 meletuslah Pertempuran 10 Nopember 1945.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa pemimpin pertama dan utama Pertempuran 10 Nopember 1945 adalah Gubernur Soerjo bukan yang lain. Karena ketika tidak ada Komando Keramat yang dibacakan Gubernur Soerjo maka tidak akan terjadi pertempuran. Pertempuran 10 Nopember 1945 telah membuktikan ujian pertama pasca Kemerdekaan RI. Proklamasi Kemerdekan RI memang benar telah dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, tetapi ujian pertama kali Kemerdekaan RI adalah meletusnya Pertempuran 10 Nopember 1945. Kita bisa bayangkan seandainya Gubernur Soerjo menyatakan menyerah kepada Inggris, maka Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak akan ada arti dan maknanya sama sekali.
Namun demikian, “kontroversi” dari perjuangan Gubernur Soerjo ini muncul ketika publik lebih mengenal sosok Bung Tomo sebagai pemimpin Pertempuran 10 Nopember 1945 daripada Gubernur Soerjo. Dan berikutnya rekaman Komando Keramat yang dibacakan Gubernur Sorjo pada tanggal 9 Nopember 1945 pukul 23.00 sampai sekarang tidak jelas ujung pangkalnya dan ada dimana. Penulis telah menelusuri ke RRI Surabaya apakah masih menyimpan kepingan rekaman Komando Keramat tersebut, tetapi pihak RRI Surabaya sudah menelusuri dan sampai sekarang belum ketemu, dan dimungkinkan kepingan pidato itu ada informasi diselamatkan dan dibawa ke RRI Malang pasca RRI Surabaya dibumihanguskan oleh pasukan Inggris, tetapi sampai sekarang juga masih belum diketahui informasi lebih lanjut.
Pasca Gubernur Soerjo menjabat Gubernur Jawa Timur, pada tahun 1947 Bung Karno memilih dan mengangkat Eyang Soerjo sebagai Wakil Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) RI. Selanjutnya pada Nopember 1948 Eyang Soerjo dalam perjalanannya dari Yogyakarta menuju Madiun dihentikan oleh pasukan pemberontak pro komunis (PKI) dan dibunuh dengan keji dan biadab di daerah Mantingan Ngawi. Disini penulis tidak akan banyak mengupas sejarah kematian Eyang Soerjo lebih lanjut walau penuh dengan “kontroversi” pula.
Wisata Religi dan Wisata Sejarah
Eyang Soerjo meninggal pada tahun 1948, dan setelah jasadnya diketemukan sempat dimandikan di Ndalem Ngeksipurno dan jenazahnya disholatkan di Masjid Kompleks Makam Kerto Sasono Mulyo yang terletak persis di sebelah timur makam yang berada di Jalan Salak Magetan dan dikebumikan di kompleks makam keluarga Kerto Sasono Mulyo Magetan.
Menarik untuk dicermati adalah walaupun Eyang/Gubernur Soerjo sudah dmakamkan di Kompleks Makam Kerto Sasono Mulyo Sawahan Kepoloreo Magetan sejak tahun 1948, tetapi banyak masyarakat Magetan yang tidak mengetahuinya. Karena memang sebelum juru kunci atau juru makam dikelola oleh keluarga, kondisi Kompleks Makam Kerto Sasono Mulyo tampak tidak terawatt sama sekali. Sehingga publik hampir tidak mengetahui bahwa di Jalan Salak ada Makam Pahlawan Nasional dan makam 5 (lima) Bupati Magetan secara berurutan dari trah Ndalem Ngeksipurno termasuk Eyang Soerjo.
Kompleks Makam Kerto Sasono Mulyo Sawahan Kepolorejo Magetan mulai pelan-pelan terbuka sejak tahun 2017-2018 ketika renovasi makam dilakukan oleh pihak Pemkab Magetan dan Pemprov Jawa Timur dan pengelolaan juru kunci atau juru makam dikembalikan kepada pihak keluarga. Menjelang masa berakhirnya kepemimpinan Pakdhe Karwo periode kedua sebagai Gubernur Jawa Timur tahun 2018, Makam Pahlawan Nasional Gubernur Soerjo telah selesai dilakukan renovasi. Pada tahun 2019 ketika awal kepemimpinan Gubernur Khofifah Indar Parawansa membuat gebrakan awal kegiatan Upacara Ziarah dan Tabur Bunga di Makam Pahlawan Nasional Gubernur Soerjo, dan kegiatan ini akhirnya masuk menjadi agenda rutin tahunan menjelang peringatan HUT Jawa Timur.
Penulis masih ingat betul ada 3 (tiga) hal yang disampaikan Gubernur Khofifah Indar Parawansa pada tahun 2019 lalu, bahwa Pemprov Jawa Timur mengagendakan kegiatan upacara ziarah dan tabur bunga ini bertujuan untuk: Pertama, mengenang jasa-jasa pahlawan bangsa khususnya Gubernur Soerjo karena sebagai peletak dasar Gubernur Jawa Timur pertama kali pasca kemerdekaan. Kedua, mendoakan arwah para pahlawan bangsa khususnya Gubernur Soerjo karena meninggal sebagai syuhada kusuma bangsa. Dan ketiga, dengan upacara ziarah ini akan mengingatkan kita yang masih hidup suatu saat juga akan mengalami kematian. Proses upacara ziarah dan tabur bunga di Makam Pahlawan Nasional Gubernur Soerjo tahun ini sudah memasuki tahun yang kelima, dan siapapun nanti kepemimpinan di Jawa Tmur agenda rutin kegiatan ini tetap dijalankan.
Seiring dengan semakin terbukanya Makam Pahlawan Nasional Gubernur Soerjo saat ini, maka menurut penulis inilah momentum yang tepat bagi Pemkab Magetan dan pihak terkait untuk menggagas dan menginisiasi wisata religi dan wisata sejarah. Hal ini terinspirasi bahwa kalau di Blitar terkenal dengan Makam Bung Karno, kalau di Jombang terkenal dengan Makam Gus Dur, maka kalau di Magetan harusnya juga terkenal dengan Makam Gubernur Soerjo. Penulis membayangkan bahwa Pemkab Magetan akan menginisiasi banyak kegiatan masyarakat untuk melakukan kunjungan wisata sejarah dan wisata religi dengan melibatkan misalnya kunjungan dari anak-anak sekolah (SD-SMP) untuk berziarah sekaligus belajar sejarah. Selain itu bisa pula digagas dan dikembangkan konsep dari kawan-kawan Begandring Soerabaia yang sudah menginisiasi kegiatan tour de sejarah di kompleks-kompleks bersejarah di Surabaya yang bekerja sama dengan Pemkot Surabaya.
Dalam dua tahun terakhir ini sudah terlaksana event Haul Gubernur Soerjo di setiap tanggal 11 malam tanggal 12 Nopember, bahkan mulai tahun 2022 lalu dan Insya Allah seterusnya event Haul Gubernur Soerjo telah menjadi agenda rutin dari DPRD Provnsi Jawa Timur. Ke depan Magetan tidak hanya dikenal dengan obyek wisata alam Telaga Sarangan semata, atau terkenalnya Kerajinan Kulit Sawo Magetan, tetapi juga memiliki potensi wisata religi sekaligus wisata sejarah Makam Pahlawan Nasional Gubernur Soerjo di Kompleks Makam Kerto Sasono Mulyo Jalan Salak Magetan. Dan jika ini bisa terlakana, maka penulis yakin akan membawa banyak kemaslahatan. Pengembangan UMKM di sekitar makam akan bisa berkembang, potensi karang taruna/pemuda di sekitar lokasi makam akan bergeliat, dan seterusnya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah bahwa kita semua yang hidup saat ini masih bisa menjaga dan merawat sejarah. Karena sesungguhnya ketika kita membicarakan sejarah, kita bukan membicarakan sebuah kebesaran, tetapi membicarakan sebuah kebenaran. Merdeka!