SeputarKita, Ngawi – Keluhan orang tua peserta didik SDN Tambakromo 2 terkait pungutan yang mengatasnamakan komite ditambah jual beli buku modul atau Lembar Kerja Siswa (LKS) hingga kini masih saja terjadi. Herman (nama alias), selaku orang tua peserta didik mengungkap, setiap tahunnya dia harus membayar sebesar 300 ribu rupiah ditambah LKS sekitar 135 ribu per semester.
Bahkan, saat pandemi terjadi pada 2020-2021 lalu, saat pemerintah menerapkan pembelajaran daring, pungutan tersebut tetap berjalan. Menurutnya, pihak lembaga akan menggunakan dana komite tersebut untuk dipergunakan membangun mushola sekolah.
Dirasa aneh, katanya, terkait pembangunan mushola, selama 5 tahun terakhir belum juga usai. Adanya pungutan tersebut, menurutnya hal itu cukup memberatkan, mengingat anaknya masih mengenyam pendidikan dasar.
“Iya itu, 300 ribu rupiah untuk komite katanya, untuk LKS sekitar 135 ribu persemester. Katanya komitenya untuk bangun mushola, tapi sampai sekarang belum jadi” ungkapnya.
Terpisah, ditemui beberapa waktu lalu, terkait dugaan pungutan, kepala sekolah SDN Tambakromo 2, Sinaga, berkelit, secara subyektif dirinya menyebut hal tersebut diperbolehkan dan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Lalu dugaan pengadaan modul ajar atau LKS, dia mengatakan, telah memberikan tawaran kepada orang tua murid dirasa memerlukan atau tidak. Katanya, modul tersebut diperlukan dalam menunjang pembelajaran.
“Itu ada undang-undangnya itu, diperbolehkan” kata Sinaga.
Mengutip laman Ombudsman.go.id, definisi dari pungutan dan sumbangan. Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orang tua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.
Sedangkan sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orang tua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.
Terkait Komite Sekolah, tercantum dalam Permendikbud nomor 75 tahun 2016, pada pasal 12a menyebut, baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di Sekolah. Pada pasal yang sama, huruf b menyebut larangan melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.
Lalu, menyoal adanya praktik jual beli LKS, larangan tersebut diatur tegas di pasal 181a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang menyatakan pendidik dan tenaga kependidikan, baik perorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, LkS, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, seragam sekolah, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
Mendasar regulasi tersebut, jelas, guru maupun karyawan di sekolah sama sekali tidak boleh menjual buku-buku maupun seragam di sekolah. (red).