SeputarKita, Pemalang – Kehidupan keras harus dialami Murwuri (62), disaat adanya dugaan pungutan terkait Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), sejumlah pedagang tempe di Pemalang yang membuang barang dagangannya di Pasar Moga dan mewahnya gedung DPRD Pemalang.
Pasalnya, janda tua tanpa anak tersebut harus bertahan hidup dari belas kasih seseorang di gubuk reotnya dengan ukuran 2×4 meter yang berada di tepi pesisir pantai Desa Tasikrejo, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang.
Gubuk tersebut, berjarak sekitar 4 KM dari Balai Desa Tasikrejo, dengan melewati jalan samping balai desa menuju pantai, harus menempuh jalan pasir pantai dan harus hati-hati menembus sampai tempat tujuan. Tepatnya, sebelah timur ‘Rumah Sakit Cus’ yang menawarkan jasa plus-plus berbentuk rumah kayu yang berpetak-petak kamar.
Janda yang mengalami rabun mata dan benjolan dileher tersebut, harus menjalani hidupnya dengan pasrah, hanya bisa menangis tiap malam karena harus menahan dinginnya air laut dan rumahnya terendam akibat air rob.
Beda dengan masyarakat lainnya, dimana hanya bisa protes karena kebanjiran atau tidak mendapat bantuan dari Pemerintah. Atap bocor jika hujan, kencangnya angin, dan mandi dengan air asin sudah menjadi keseharian yang dirasakan Murwuri.
Kondisi semakin parah jika menjelang malam karena air laut naik dan merendam gubuknya, tidak ada penerangan dan hanya menunggu pemberian lampu solar dari tetangganya yang memang dilokasi tersebut hanya ada 2 gubug, satu ditempati Muwiri dan satu ditempati Danusri beserta suami.
Kediaman Murwuri (62) |
Saat kami mengunjungi gubuknya. Jumat, 23 April 2021. Ia menerangkan bahwa dirinya menetap di pesisir pantai sejak sekitar tahun 1999 diatas tanah pinjaman dari Kasidi seorang petani bunga melati.
Lanjutnya, ia menceritakan kondisi makin parah saat ditinggal oleh suaminya dan tidak memiliki anak. Ia mengakui bahwa terakhir dibantu oleh pemerintah desa sebesar 600 ribu selama tiga bulan, dan saat ini pasrah untuk menjalani sisa hidupnya.
“Corona itu siapa, orang mana, tidak pernah kesini kasih bantuan”. Katanya saat wartawan mempertegas apa itu bantuan corona.
Sementara, Danusri (63) meceritakan, memang dirinya tinggal dipesisir pantai sejak masih muda, menikah hingga usianya saat ini. Danusri sendiri memiliki satu anak dan sudah berkeluarga.
Kehidupan sehari-harinya, Danusri hanya mengandalkan penghasilan suaminya mencari ikan dengan memasang jaring di pinggiran laut
“ikannya dibagi dua, separoh untuk lauk, separoh dijual untuk beli beras”. Ucap Danusri.
Sama halnya dengan Murwuri, Danusri terahir dibantu oleh pihak desa sebesar 600 ribu selama tiga bulan dan belum pernah datang bantuan yang diterima.
Kepala Desa Tasikrejo, Sopiyudin saat dikonfirmasi dirumahnya, Menerangkan memang benar ada penduduk ber KTP Desa Tasikrejo yang tinggal di gubug pesisir pantai. Namun atas nama Murwuri merupakan pindahan dari Karanganyar, Pekalongan.
Pemerintah Desa pernah menyalurkan BLT Covid-19 periode pertama sebesar 600 ribu selama tiga bulan, saat ini memang belum pernah mendapatkan BPNT ataupun PKH.
“Kita sudah mengajukan mas, namun penentu kan bukan ada di desa. Apalagi atas nama Murwuri KTP nya belum elektrik”. Kata Sopiyudin.
Sopiyudin, mengakui saat ada bantuan listrik dari PT. PLN mereka diajukan sebagai penerima karena waktu itu Desa Tasikrejo mendapat kuota sebanyak 10 buah box listrik pada tahun 2020.
Alhasil, bantuan pemasangan box listrik yang diajukan Pemerintah Desa disetujui pihak PLN, salah satunya gubuk milik Danusri. Namun, bantuan itu dibatalkan oleh vendor PLN Jawa Tengah dengan alasan jarak untuk menarik kabel sangat jauh.
“Saya tidak tau nama vendornya mas, yang jelas katanya kejauhan. Makanya dibatalkan oleh vendor PLN Jateng”. Jelas Sopiyudin, Kades tasik Rejo. (Nur/Fahmi)