SeputarKita, Magetan – Matahari bersinar terik, cuaca cerah mengiringi giat bedah rumah relawan 24 jam hari ini, Syukur Alhamdulillah setelah beberapa hari kota kami di guyur hujan, akhirnya hari ini cuaca mendukung kami untuk menyelesaikan tugas.
Ini tidak bisa juga di sebut rumah, hanya sepetak kamar tidur kecil yang menumpang di samping rumah sangat sederhana. Cukup untuk tempat berteduh, kami hanya memperbaiki tembok yang sudah agak rusak disana disini dan memasang keramik pada lantainya. Berharap perubahan kecil ini, bisa menambah kenyamanan penghuni rumah.
Namanya Mbah Mikan, Warga Dusun Brancang, Desa Sugihwaras, Maospati, Magetan. Kakek berusia 82 tahun ini, menyimpan berbagai cerita kelam dalam hidupnya. Ada begitu banyak pelajaran yang kami ambil dari kisah-kisahnya.
Adzan Dhuhur baru selesai berkumandang, di ambilnya Radio tua dengan antena seadanya. Mbah Mikan beranjak dari tempat duduk dipan bambu, berpindah duduk dilantai, bersandar pada tiang kayu penyangga emper rumah sangat sederhana samping rumahnya.
Tak berapa lama suara tembang jawa terdengar dari radio yang seharusnya sudah menjadi koleksi barang antik di samping mbah Mikan, Kakek tua itu menikmati dengan wajah penuh bahagia.
Relawan 24 Jam yang saat sedang bedah rumah Mbah Mikan |
Ia mulai bercerita tentang masa mudanya, bercerita betapa beruntungnya dirinya yang pernah melihat bapak Presiden pertama Indonesia, mendefinisikan ketampanan Ir. Soekarno itu dengan detail. Menceritakan kegemarannya pada wayang golek dan kiprahnya langsung disana.
Rona-rona bahagia menghiasi raut wajah penuh senyum, Ia mengisahkan betapa uletnya dirinya dulu ketika muda, apapun pekerjaan yang ia bisa dan halal ia telateni, rumah dan tanah yang luas sudah ia miliki sejak usia muda, menyunting gadis pujaannya, hidup bahagia dengan orang yang dicintainya sampai sang istri meninggal dunia,
Sampai disini, raut wajah Mbah Mikan berubah, senyum bahagianya memudar, ada kepedihan yang menggantikannya. Pisang goreng dan kopi yang di tinggal separuh di cangkir depan kami tak lagi nikmat, kami yang sedari awal mendengar kisah mbah Mikan, seakan larut dalam setiap gulir waktu yang beliau ceritakan.
Disini awal semua kepedihan beliau, kepergian sang istri seakan-akan membawa pergi seluruh bahagia miliknya juga.
Mbah Mikan, anak nomor dua dari sebelas saudara ini hanya memiliki satu anak yang tinggal jauh di pulau Natuna, Kepulauan Riau. Dari anaknya itu Ia memiliki tiga cucu, dan cucu laki-laki pertamanya tinggal dan sekolah di jawa, tinggal bersama Mbah Mikan dan istrinya.
Segala kebutuhan dan biaya sekolah cucunya, belaiu yang mencukupi. Saat itu, yang belaiu rasakan hanya rasa bahagia dan syukur sedalam-dalamnya, karena Tuhan memberikannya cucu laki-laki yang baik, penurut dan tidak banyak permintaannya, kendati demikian Mbah Mikan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk cucunya, membelikannya sepeda, pakaian dan apa-apa saja yang di inginkan sang cucu. Tidak ada terbersit sedikitpun pikiran buruk, ia merasa hidupnya tentram dan nyaman.
“saya tidak mengira akan terjadi hal seperti ini,” Ucapnya dengan bahasa jawa halus, “padahal saya sudah percaya dan nyaman dengan cucu saya itu. Ku rawat bertahun-tahun, masih tega sama kakeknya sendiri” suaranya yang parau, menggambarkan betapa kekecewaan menyelubunginya.
Relawan 24 Jam yang saat sedang bedah rumah Mbah mikan |
Diceritakannya kisah dimana usai Istri tercintanya meninggal dunia, Cucu yang di kasihinya mengajak sang kakek pulang ke Riau, ke rumah orang tuanya, ke rumah anak Mbah Mikan. Dibujuknya sang kakek untuk menjual rumah yang saat itu ditempati, dengan dalih untuk biaya perjalanan dan pegangan di sana nanti.
Mbah Mikan pikir, Siapa lagi yang akan ia ikuti dan mengurus dirinya di masa senjanya kalau bukan cucu yang sudah ia besarkan, mungkin sudah waktunya sekarang ia lah yang harus di rawat oleh cucu nya itu, di sana juga yang akan di ikuti adalah anak kandungnya, jadi tanpa ragu-ragu ia turuti perkataan cucu tercintanya.
Dijualnya tanah dan rumah yang belaiu tempati saat itu dan mempercayakan semua uang hasil penjualan rumah dan uang untuk kebutuhan sehari-hari yang selama itu ia simpan pada cucunya.
Perjalan jauh beliau tempuh, 4 hari 4 malam menyeberangi lautan. Rasa bahagia akan bertemu dengan anak dan cucu-cucunya menghapus segala rasa lelah. Begitu banyak gambaran kebahagiaan yang terbayang dalam angannya, impiannya menghabiskan masa tua bersama anak cucu akhirnya menjadi kenyataan.
Namun sayang, Tidak semua hal berjalan sebagaimana yang kita inginkan, tidak semua hal akan baik-baik saja. Sedih dan bahagia adalah rasa yang sama-sama akan datang dan pergi begitu saja, tidak peduli jika kita masih memnginginkannya untuk tinggal. Sedih dan bahagia akan terus berganti sebagaimana waktu yang tidak akan pernah berhenti,
Sambutan bahagia dari keluarganya hanya bertahan bulan, selebihnya beliau di anggap tidak ada, setiap hari di ambil perasaannya, tinggal di rumah anak sendiri penuh ketidak nyamanan, laki-laki renta itu hanya bisa menepuk dada, member kekuatan pada diri sendiri agar bersabar, hingga saat beliau mendengar bahwa sebidang tanah dan kebun jati yang masih tersisa di kapung kelahiran miliknya dijual habis oleh anaknya tanpa sepeserpun memberikan hasilnya pada beliau, sang cucu yang disayanginya juga tidak mempedulikannya.
Sedih dan kecewa berkecamuk menjadi satu, dengan tubuhnya yang renta, beliau nekat bekerja serabutan, di kumpulkannya rupiah demi rupiah, di telateni apa saja pekerjaannya. Tidak ada siapapun lagi yang bisa di andalkan selain dirinya sendiri di pulau asing itu. Tangan-tangan tuanya masih kuat untuk mengumpulkan pundi-pundi uang, ke dua kakinya walau tak sekuat suwaktu muda, masih memberinya banyak harapan untuk bertahan.
“Saya sudah tidak bisa pikir banyak, saat itu begitu uang saya rasa sudah cukup untuk perjalanan pulang, saya minta tiling pada pamong desa. Semua di uruskan. Saya di antar oleh guru smp sampai jawa, sampai rumah adik saya.” Katanya, dengan mata berkaca-kaca.
Mbah Mikan tau, sudah tidak memiliki apa-apa lagi di tanah kelahirannya, tetapi dari pada harus tinggal di pulau yang asing baginya dan memijak tanah yang sama dengan anak dan cucu yang tidak lagi peduli, menambah rasa sedih dan kecewa lebih baik, beliau pulang berkumpul dengan saudara dan memuali dari awal lagi, menata kembali hidupnya, merajut mimpi yang tak lagi sama. Jika anak dan cucu tak lagi peduli, masih ada saudara yang dengan senang hati mau menerimanya, bersanding hidup dengan ala kadarnya.
“Sebenarnya banyak orang-orang baik yang ingin merawat saya, tetapi saya tolak semua dengan halus, saya menjaga perasaan saudara-saudara saya,” imbuhnya, kali ini dengan sudut bibir yang melengkung tersenyum.
Rumah kecil yang beliau tempati sekarang berdiri di atas tanah milik keponakannya, di kanan-kiri rumah ada rumah-rumah saudaranya, berdampingan dengan keponakan dan cucu-cucu keponakannya sudah membuatnya lebih bahagia, perasaan lebih baik dari sebelumnya.
“Jangan lelah berbuat baik sama siapa saja nak, mungkin saat ini belum ada manfaatnya, namun suatu saat nanti pasti ada balasan untuk kebaikan itu, jika satu dua orang yang kita sayangi tak peduli lagi, Tuhan akan mengantar ribuan orang mengasihi kita.”
Nasehat penutup cerita dari Mbah Mikan, menjadi penghapus air mata yang tidak terasa menetes begitu saja. Tak lupa beliau sampaikan banyak-banyak terimakasih pada kami, dan mendoakan segala kebaikan pada kami.
Pengalaman hidup Mbah Mikan yang begitu memilukan, menjadi pengajaran berharga bagi kami, relawan 24 jam. Kami juga tidak lupa mengucapkan Terimakasih pada Tuhan, karena masih di berikan kesempatan untuk belajar dan terus belajar hidup menjadi manusia yang semestinya manusia. Manusia yang terus berusaha menaburkan kebaikan tanpa merasa diri lebih baik.
Sebenarnya, bukanlah kami yang menolong mereka, tetapi merekalah yang terus memupuk jiwa-jiwa semangat kami untuk terus memperjalankan perjalan hati, perjalan hati seorang relawan. (Anie)