Imam Yudhianto Soetopo, SH, MM.
Penggiat Demokrasi dan Pemilu
Munculnya ancaman kepada para penyelenggara pemilu di media sosial sempat viral menjadi trending topic akhir-akhir ini. Ada kekhawatiran berlebihan terhadap penerapan sistem dan tahapan pemilu yang saat ini sedang berjalan. Integritas dan Idependensi penyelenggara pemilupun seakan ditantang. Kejujuran dan keterbukaan menjadi sesuatu yang dipertaruhkan. Para netizen yang memposting ungkapan ungkapan berupa kecaman yang menuju lahirnya prasangka mosi tidak percaya tentunya harus dijawab oleh para “wasit” dalam perhelatan pemilu yang beberapa hari lagi akan digelar. Keberanian sebagian netizen menantang KPU dan BAWASLU untuk bermubahalah dengan menghubungkan Adzab Tuhan dengan kemungkinan terjadinya penyimpangan wanprestasi terhadap tata aturan perundangan pemilu, seakan menstigma bahwa para penyelenggara pemilu tersebut tidak layak dipercaya dan terindikasi akan melakukan penyelewengan serta kecurangan.
Kalau sudah seperti ini siapa yang disalahkan ?
Perjalanan pemilu 2014 yang lalu memang masih menyikan trauma bagi beberapa “mantan pemain” dalam gelanggang demokrasi. Pengalaman pahit mereka akan adanya dugaan / indikasi penyelewengan terstruktur yang dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu memang sedikit banyak mempengaruhi sikap mereka saat akan kembali bermain di putaran pemilu 2019. Wajar jika “permainan terselubung” yang tidak terbukti itu membuat para calon atau pasangan calon kontestan pesta demokrasi kali ini apriori pada penyelenggara pemilu yang saat ini sedang sibuk menapaki tahap demi tahap perjalanan menuju puncak perhelatan pertarungan para jawara demokrasi pada tanggal 17 April 2019 mendatang.
Mulai dari terungkapnya kasus ceceran KTP-EL palsu di jalanan dan di gudang, kemudian temuan data kegandaan dan invaliditas daftar pemilih tetap (DPT) yang jumlahnya cukup fantastis, kelemahan pada tahap pemutakhiran daftar pemilih tambahan (DPTb) dan penanganan potensi munculnya daftar Pemilih Khusus (DPK), penyelamatan suara pada profesi sosial dan profesi mobile tertentu yang tidak dapat diprediksi lokasi terakhirnya pada hari-H pemilihan.
Seperti misalnya : profesi dokter, paramedis, atau para relawan sosial yang bisa saja pindah tugas sewaktu-waktu pada tanggal 17 April 2019 karena adanya kondisi force majeur pada daerah tertentu. Keadaan ini membuat mereka bisa saja kehilangan hak pilihnya karena tidak bisa mendapatkan layanan pindah pilih dan dokumen KTP-EL yang tidak sama alamatnya pada daerah pemilihan. Meski Mahkamah Konstitusi telah setuju untuk memperpanjang masa layanan pindah pilih sampai tujuh hari sebelum hari-H, tapi ternyata masih belum mampu menjawab persoalan yang dihadapi oleh para pemilik profesi di atas.
Kondisi entitas budaya yang berbeda dan lemahnya sistem pengawasan pemilu di daerah tertentu yang terisolir atau yang berkarakteristik khusus juga melahirkan ketidak percayaan masyarakat atas validitas hasil penghitungan suara pemilu. Kentalnya pengaruh kelompok politik tertentu di daerah tersebut bisa memicu kerawanan sosial dan konflik antar golongan atau partai.
Yang jelas semua kembali pada para penyelenggara pemilu. Pehelatan puncak pesta demokrasi pada 17 April 2019 akan menjadi ajang pertaruhan kredibilitas mereka. Sebagaimana diungkap oleh Maulana (2014) Integritas penyelenggara pemilu akan berdampak pada kepastian hukum dalam menjunjung keadilan pemilu. Sehingga independensi yang dibalut dengan nilai-lilai luhur kejujuran dan kebenaran, akan memancarkan marwah dan melahirkan kepercayaan publik. Konsistensi pada tata aturan perundangan yang ada akan mendukung terciptanya konusifitas dan kelancaran pelaksanaan pemilu. Maka dari itu sudah seharusnya para penyelenggara pemilu mawas diri, merefleksi kembali perjalanan sejarah pemilu di indonesia agar kemudian mampu melakukan langkah-langkah strategis untuk perbaikan selanjutnya.
Kita semua berharap semoga pelaksanaan pesta demokrasi kali ini mampu menghasilkan kepemimpinan tingkat nasional maupun daerah yang amanah dan berkemajuan. Dan semoga para penyelenggara pemilu mampu mengemban amanah yang diemban dengan sebaik baiknya, utamanya bagi KPPS, PPS, dan PPK yang menjadi ujung tombak pemungutan dan penghitungan suara di level terbawah. Dan kita harus sadar, baik para “pemain” maupun para “wasit” semuanya akan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan kepada Tuhan Yang Maha Esa.